Teras Rasa

The Secret of Marital Relationship (sebuah interpretasi atas Serat Jaka Lodhang #6)

Mengawali untaian narasinya dalam serat Joko Lodhang, R. Ng Ronggowarsito menggunakan pupuh (tembang) macapat dengan jenis Sekar Gambuh. Gambuh adalah Gambuh. Salah satu varian tembang macapat yang terdiri dari 6 gatra (baris) dengan aturan-aturan tertentu terkait guru lagu dan guru wilangan. Tentu, dengan kapasitasnya sebagai maestro dan pujangga besar, menjatuhkan pilihan terhadap Sekar Gambuh, bukanlah asal-asalan, tanpa mengandung suatu makna tertentu. Tidak. Tidak demikian dengan sufi agung sekaliber R. Ng. Ronggowarsito. He has the wisdom of ages.

Secara etimologi, dalam linguistik Jawa, setidaknya kata Gambuh memiliki 4 arti;

  1. Kulina: kontinyu atau sudah sering melakukan.
  2. Tlèdhèk Lanang: Laki-laki yang berprofesi sebagai penari.
  3. Arané walang sing wadon luwih gedhé tinimbang sing lanang: Nama sebuah koloni belalang, dimana jenis kelamin perempuan lebih besar daripada laki-laki.
  4. Wernané Ijo: Berwarna hijau.[1]

Senada dengan salah satu definisi diatas, Mas Karta Amijaya dalam buku Sêkar Macapat terbitan Perguruan Muhammadiyah Surakarta 1928 memberikan definisi gambuh, têgêse pundhuh, lantih yang artinya telah terbiasa, istiqomah, kontinyu atau prigel.[2] Sementara KHP Kridhomardowo Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengartikan Gambuh dengan, terbiasa, pas, cocok, atau sesuai. Selanjutnya tembang dengan jenis Sekar Gambuh digunakan sebagai pralambang (simbolisme) dan sanepa (metafora) tentang bertemunya antara pria dan wanita (jumbuhing pria lan wanita) yang sudah merasa cocok, lantas bersama-sama menyatukan keinginan untuk palakrama (hidup bersama) dalam institusi pernikahan. Tak ubahnya harmonisasi unsur Yin dan Yang dalam tradisi Taoisme. Dalam aktualisasinya, bait-bait Sekar Gambuh terkandung narasi yang memiliki beberapa watak tertentu seperti,  lugas (apa adanya), tinarbuka (terbuka), pikoleh (memperoleh manfaat), grapyak semanak (akrab mudah bergaul), dan raos reraketan (rasa erat).

Secera lebih komperehensif dan holistik, istilah jumbuh, gambuh, atau nikahdalam Kosmologi Jawa memiliki untaian makna yang lebih luas. Ia tidak sekadar bertemunya unsur-unsur maskulin dan feminim. Yin dan Yang. Kamajaya dan Kamaratih. Lingga dengan Yoni-nya. Atau bertemunya Raden Inu Kertapati dengan Dewi Candrakirana yang ditandai dengan adanya dina Anggarakasih dalam Ngelmu Petung (astrologi) Jawa. Tidak. Gambuh tidak hanya urusan kelamin. Lebih dari itu semuanya. Lebih dari sekadar asumsi yang hanya menekankan pada aspek-aspek fisiologis atau lahiriyah saja. Gambuh adalah konsep keseimbangan (rwa bhineda) yang menekankan pentingnya hidup dalam harmoni antara dua kutub yang berbeda, seperti baik dan buruk, kaya dan miskin, spiritual dan duniawi, pemikiran dan gagasan. Seperti sebuah quotes yang berbunyi, To live in harmony is to find balance between the heart and mind. Adalah Sang Indrajati dalam Kitab Wedha Mantra, telah mengungkapkan sejumlah rahasia (The Secret) dan sirr dari sebuah istilah bernama Gambuh menggunakan pendekatan esoteris hingga pisau eksistensilalisme. Ia telah mengklasifikasikan Gambuh menjadi sebanyak 4 variabel.[3]

  1. Nikahe Lanang lan Wadon (menikahnya laki-laki dan wanita)
  2. Nikahe Kawula lan Gusti (menikahnya hamba dengan Tuhan)
  3. Nikahe Badan lan Nyawa (menikahnya antara jasad dengan nyawa, jiwa dan raga)
  4. Nikahe Qur’an kelawan makna (menikahnya Al-Qur’an dengan makna-makna yang tekandung didalamnya, antara teks dengan visi yang dikandung)

Jika merujuk dengan 4 variabel diatas, dalam konteks R. Ng. Ronggowarsita, maka terdapat sekian peristiwa yang saling berhubungan erat dan memiliki keterkaitan. Besar kemungkinan istilah Serat Joko Lodhang sebagai penanda ketika Sang Pujangga telah mendapatkan ‘visi ilahiyah’ usai menjalankan serangkaian prosesi tirakatnya (riyadloh) yang panjang. Tirakat itu ia lalui besama pengasuhnya, Ki Tanujoyo di tepi aliran sungai Kedung Watu. Sehingga, dalam beberapa karyanya seperti Wirid Hidayat Jati dan Serat Cemporet, R. Ng. Ronggowarsito mentahbiskan dirinya dengan sebutan Ki Ageng Kedung Watu (Kol).[4]

Bisa juga gambuh yang dimaksud, adalah ketika R. Ng. Ronggowarsito yang kala itu bernama Bagus Burham mendapatkan beberapa transmisi ilmu (wejangan) dari Sinuwun Pakubuwono IV dan Panembahan Buminoto di Keraton Kasunanan. Sehingga, ketika mendengar wejangan tersebut, dan disentuh bagian belakang telinganya, ia pingsan seketika. Kemudian tubuhnya yang lemah itu dibungkus dengan selembar kain mori dan di letakkan didalam bedengan selama 7 hari 7 malam.[5]

Atau ketika R. Ng Ronggowarsito mendapatkan wejangan selama 10 hari 10 malam dari Ki Ajar Sidalaku di puncak Tabanan Pulau Bali. Dampak positif dari wejangan tersebut, ia mendapat unugerah Tuhan berupa kepekaan terhadap realitas sosial yang tajam (waskita). Juga keindahan bahasanya (lantip ing basa) semakin menjadi-jadi.[6] Dus, bisa juga gambuh dalam konteks R. Ng. Ronggowarsito adalah menikah dalam arti lahiriyah secara umum. Ketika Sang Pujangga menikahi R. Ayu Gombak putri dari Adipati Cakraningrat Kediri pada tanggal 9 Nopember 1821.[7]

Walhasil, pupuh Gambuh bukan sekadar tembang yang bisa diuraikan begitu saja. Ia adalah seperangkat value dan wisdom yang begitu medalam. Tentu, dalam mengejawantahkan nilai-nilai tersebut, perlu di aktualisasikan dengan realitas kekinian dan yang akan datang. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut tidak terkesan ‘wingit’dan ‘angker’ sehingga hanya pantas bagi generasi old dan dibahas dalam forum sarasehan pada malam-malam tertentu, seperti Selasa Kliwon atau Jumat Legi. Tidak demikian. Nilai dalam tembang Gambuh bersifat universal, aktual dengan segala situasi, baik kemarin (purwa), sekarang (madya), dan yang akan datang (wusana). Demikian.


[1] Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm 204.

[2] Mas Karta Amijaya, Sêkar Macapat, (Surakarta: Perguruan Muhammadiyah, 1928), hlm 34.

[3] Sang Indrajati, Kitab Wedha Mantra: Ngemong Chiasing ngelmu kasekten gaib sarta ngelmu-ngelmu kang kagem Kangjeng Sunan Kalijaga, kawuwuhan piwulang bab mantra sarta wejangan warna-warna, (Solo: Penerbit Sadu Budi, 1979), hlm 50.

[4] Andjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa yang terjadi?, (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989),hlm 30-31.

[5] Ibid hlm 33

[6] Ibid hlm 40.

[7] Ibid hlm 35.

2 komentar untuk “The Secret of Marital Relationship (sebuah interpretasi atas Serat Jaka Lodhang #6)”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *