Teras Rasa

KH. Abdul Mukhid; Kisah tentang ketegasan dan integritas seorang Guru

Desa Bumiaji pukul 3.55 WIB. Waktu menjelang Sholat Subuh. Disana-sini mulai terdengar suara ayam berkokok bersahut-sahutan. Sejurus kemudian suara adzan dari berbagai corong masjid dan mushola mulai terdengar. Suaranya bertalu-talu. Lantas menyelinap masuk ke dalam rongga telinga setiap pendengarnya. Mengingatkan orang agar segera bangun dari tidur untuk segera menunaikan perintah Allah.

“Rip, rip, rip, tangio rip”, seru Kiai Abdul Mukhid sambil menggoyang-goyangkan tubuh Arif, salah satu putranya. Namun Arif masih belum juga bangun. Kiai Abdul Mukhid tidak menyerah, ia menarik selimut yang menyelubungi tubuh Arif. Masih belum bangun. Kiai Mukhid mengambil seciduk air, lantas memercikkannya ke wajah Arif. Kendati demikian, Arif masih belum juga bangun dari tidur nyenyaknya. Tak urung Kiai Mukhid segera menuju mushola. Pantang baginya ketinggalan sholat Subuh berjamaah. Usai menunaikan sholat berjamaah, dilihatnya Arif masih belum juga bangun. Kiai Mukhid segera mengangkat tubuh Arif. Ia bopong tubuh putranya itu ke kamar mandi. ‘Byuuur’, percikan air terpental kesana-kemari, membasahi sekeliling tembok didalam kamar mandi. Arif terbangun dari mimpinya. Ia melihat dirinya basah kuyup tergenang didalam bak kamar mandi. Itulah lintasan peristiwa yang masih tersimpan kuat dalam memori Ustadz Arif Syaifudin akan pribadi dan karakter ayahnya, KH. Abdul Mukhid. Sosok yang sangat bersungguh-sungguh dalam mendidik putra-putrinya, terutama dalam menjalankan perintah Agama. Satu kata untuk menggambarkan sosok Kiai Mukhid, ‘Tegas’.

Abdul Mukhid dilahirkan di daerah Gempol, Pasuruan pada tanggal 21 Februari 1938. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana dengan 12 bersaudara. Abdul Mukhid lahir ditengah keluarga Nahdliyin yang cukup kental. Pendidikan dasar hingga menengah pertama, telah ia selesaikan di Pasuruan. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) di Malang. Disela-sela kesibukannya belajar di PGAA, Mukhid juga menyempatkan diri untuk belajar agama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading asuhan KH. Muhammad Yahya. Dari dua institusi inilah, daya intelektualitas dan spiritualitas seorang Abdul Mukhid ditempa. Pada tahun 60-an, Abdul Mukhid memutuskan untuk hijrah ke Kota Batu. Di kota yang terletak di lereng Gunung Arjuno ini, hati Abdul Mukhid berlabuh, ia menikahi seorang gadis dari Desa Bumiaji. Gadis yang dimaksud bernama Siti Rukhanah, putri dari Bapak Zakaria dan Ibu Wuriyan. Alhasil, pasca menikah, Abdul Mukhid (selanjutnya dipanggil Kiai Mukhid) untuk seterusnya menetap di Desa Bumiaji Batu.

Selama mengarungi bahtera rumah tangga dengan Ibu Siti Rukhanah, Kiai Mukhid dianugerahi Allah 10 orang putra-putri. Sebagai kepala rumah tangga, Kiai Mukhid selalu menekankan pentingnya pendidikan kepada anak-anaknya. Ia pernah berpesan, “Saya tidak meninggalkan apa-apa kepada kalian, yang terpenting semua anak saya telah sekolah”. Memang, Kiai Mukhid tidak tergolong dari deretan orang-orang kaya. Ia hanyalah seorang guru swasta. Sebuah profesi dengan gaji yang tidak begitu besar. Berkat pertolongan Allah dan tekadnya yang sangat kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya, Kiai Mukhid telah berhasil mengantarkan semua putra-putrinya sampai ke jenjang pendidikan S1.

Geliat dakwah Islam di Kota Batu disokong oleh beberapa komponen yang saling sambung-menyambung satu sama lain. Komponen yang dimaksud bisa berupa masjid, madrasah, jamaah pengajian, jamaah dzikir, pondok pesantren, maupun organisasi masyarakat. Sebagai sebuah organisasi, Persyarikatan Muhammadiyah menempati posisi yang cukup signifikan dalam turut serta mensyiarkan cahaya Islam di Kota Wisata tersebut. Tidak ada yang tahu dengan pasti, kapan secara resmi Muhammadiyah berdiri di Kota Batu. Yang jelas, organisasi Islam besutan Kiai Haji Ahmad Dahlan ini telah ada di Kota Batu setidaknya sebelum tahun 1939. Hal ini ditandai dengan adanya foto pengurus Aisiyah milik Ibu Sukomiharjo (Ibu dari Bapak Moerdiono, Mensesneg di zaman Orde Baru) bertarikhkan 1939. Jika merujuk pada buku-buku sejarah, tahun 1938, Kota Malang mendapatkan kehormatan besar sebagai tuan rumah Konggres Muhammadiyah ke-27. Ini menandai bahwa jauh sebelum tahun tersebut, ideologi dan spirit Muhammadiyah telah menjadi bagian penting dalam denyut nadi syiar dan dakwah Islam di Malang Raya, khususnya daerah Batu. Di organisasi berlambangkan sinar Sang Surya inilah, seorang Kiai Abdul Mukhid mendarma baktikan segenap jiwa pengabdiannya.

Dalam perjalanan kiprah di Muhammadiyah, Kiai Mukhid turut dalam membidani lahirnya sejumlah institusi pendidikan, seperti SD Muhammadiyah 04, SMP Muhammadiyah 08, SMP Muhammadiyah 02, SMA Muhammadiyah 03, dan SMK Muhammadiyah 01. Nama Kiai Mukhid sangat populer dikalangan murid-murid perguruan Muhammadiyah. Selain mengajar Pendidikan Agama Islam, Kiai Mukhid juga mengajar mata pelajaran olahraga. Tidak hanya mengajar di sekolahan Muhammadiyah saja, ia juga mengajar di sejumlah sekolah swasta yang tersebar di Kota Batu seperti SMP Taman Siswa, SMP Islam, dan SMA Islam.

Kiai Mukhid adalah tipikal guru yang ‘killer’ dan berwibawa. Nama sudah ‘terlanjur’ masyhur sebagai seorang guru yang tegas terhadap murid-muridnya, terutama ketika melanggar norma dan etika. Tentunya, itu semua didasari oleh rasa kasih sayang dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru. Beliau tidak segan-segan menjewer, memukul, bahkan menempeleng murid-muridnya bila melanggar peraturan, kurang sopan, tidak beretika, atau bertindak melampaui batas. Yang terpenting baginya adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, salah satu nilai terpenting dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Mengulik kembali kisah seorang Kiai Mukhid seperti halnya mendengarkan sebuah ‘dongeng’, dongeng? Ya, sebuah dongeng ditengah maraknya berita guru yang dianiaya oleh muridnya. Atau seperti ‘legenda’ dan ‘mitos’ dikala banyak orang tua yang tidak peduli akan tingkah laku dan kesopanan anaknya. Sebaliknya guru takut untuk menindak muridnya, dimana akan berakhir dengan pelaporan kepada pihak kepolisian. Ujung-ujungnya, sang guru pula yang harus mendekam di balik jeruji besi.

Sebagai warga Muhammadiyah tulen, Kiai Mukhid berusaha semaksimal mungkin untuk mengamalkan apa yang pernah diajarkan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Salah satu diantaranya adalah teologi dan spirit Surat Al-Ma’un. Diantara poin penting surat Al-Ma’un tersebut adalah perintah untuk memperhatikan, menyayangi, serta menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim. Meski Kiai Mukhid tidak tergolong sebagai orang kaya secara materi, namun disetiap menjelang akhir bulan Ramadhan, ia selalu mengadakan buka bersama beserta satunan kepada janda-janda miskin dan anak yatim di Desa Bumiaji. Bahkan tak jarang, bila ia mendapatkan sedikit rizki, salah satu santri disuruh untuk memberikan sembako kepada janda-janda miskin. Sebuah aktualisasi keteladanan yang semakin langka.

Kiai Mukhid kerap berpesan kepada santri-santrinya di Madrasah, “Kabeh kudu bekti nang wong tuwo, sholat wajib lan Tahajud ojo sampek ditinggalno, lan shodaqoh sak duwe-duwene gak kudu ngenteni sugih”. Nilai-nilai positif seperti ini juga sering ia tekankan kepada para warga Muhammadiyah dalam berbagai kesempatan.

Kiai Mukhid dikenal sebagai sesepuh dan tokoh Muhammadiyah Batu. Dalam perjalanannya berkhidmah dalam Muhammadiyah, Kiai Mukhid pernah terpilih sebagai ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batu periode 2001 – 2005. Ketika diamanahi sebagai ketua PD Muhammadiyah Batu, secara resmi Kiai Mukhid mendaftarkan Pondok Pesantren Al-Furqon, pesantren yang diasuhnya ke Kementerian Agama Kota Batu. Pesantren ini adalah hasil inisiasi antara sejumlah tokoh Muhammadiyah Bumiaji bersama alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura pada tahun 1984. Pada mulanya, pesantren ini bernama Madrasah Diniyah Al-Furqon. Seiring berjalannya waktu, Madrasah tersebut bertransformasi menjadi sebuah pesantren. Namun, hingga Kiai Muchid berpulang ke rahmatullah, pengelolaan pesantren masih belum maksimal. Baru pada tahun 2020, ketika kepemimpinan pesantren beralih kepada Ustadz. H. Arif Saifudin, putra Kiai Mukhid, dan Ustadz Rahmad Azhar, Lc, pesantren Al-Furqon semakin berkembang. Kini pesantren hasil rintisan Kiai Mukhid itu telah menampung lebih dari 100 orang santri yang setiap harinya menghafalkan dan mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran.

Tidak hanya guru yang tegas, Kiai Mukhid adalah sosok dai, orator, dan penceramah yang tenar. Singa Podium. Bahasanya lugas, jelas, dan berbobot. Beliau kerap diundang untuk memberikan ceramah di berbagai acara. Mulai acara rumahan, tabligh Muhammadiyah, sampai di berbagai forum-forum besar. Di sekitaran wilayah Batu hingga diberbagai luar kota di Jawa Timur. Berkaitan dengan resep agar apa yang disampaikan didalam ceramah bisa diterima pendengarnya, Kiai Mukhid pernah berkata, “Modal utama guru adalah sholat Tahajud, seorang guru mempunyai tugas berbicara, barang siapa yang istiqomah menjalankan sholat Tahajud maka ucapannya akan berbobot”.

Sholat Tahajud adalah amalan utama yang sering ditekankan Kiai Mukhid kepada siapupun, terutama para guru-guru dikalangan Muhammadiyah. Ia merujuk pada janji Allah dalam Surat Al-Muzammil ayat 2-5, “Bangunlah (untuk sholat) di malam hari kecuali sedikit, yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”. Oleh karenanya, Kiai Mukhid hampir tidak pernah absen untuk mengisi sepertiga malamnya dengan menjalankan sholat Tahajud. Dalam menghadiri undangan tabligh dan dakwah, Kiai Mukhid pernah berpesan, “Janganlah membeda-bedakan undangan tabligh dengan melihat uang saku yang diberikan usai ceramah”. Ia memberikan ilustrasi, misalkan tiba-tiba saja terdapat dua undangan tabligh, lantas kita memilih salah satu diantara pengundang tersebut atas dasar besar dan kecilnya uang saku yang diberikan. Perilaku demikian yang selalu dihindari oleh Kiai Mukhid dalam berdakwah.

Hari Ahad 27 Desember 2015, Kiai Abdul Mukhid beraktifitas seperti biasanya, sholat jamaah di Masjid Al-Mujahidin, mendaras kitab, berbincang-bincang dengan keluarga, tidak ada tanda-tanda tertentu yang cukup mengkhawatirkan, meskipun sebelumnya beliau sempat dirawat di rumah sakit. Esok harinya, Senin 28 Desember 2015, pukul 3.00 WIB, Kiai Mukhid menjalankan sholat Tahajud seperti biasanya. Pukul 3.40 WIB, usai menjalankan sholat sunah, Kiai Mukhid masih dalam posisi duduk takhiyat, menunggu waktu sholat subuh tiba. Tepat pada pukul 3.45 WIB, tiba-tiba tubuh renta itu rebah. Ia tidak sadarkan diri. Ustadz Arif Saifudin yang tepat berada disisi kanannya, langsung membopong tubuh ayahnya. Segera Kiai Mukhid dilarikan ke rumah sakit. Namun takdir berkata lain, KH. Abdul Mukhid, sesepuh Muhammadiyah Kota Batu yang kharismatik itu, dipanggil ke haribaanNya.

Kiai Mukhid meninggal tepat setelah ia menjalankan sholat sunnah dan ketika menunggu waktu sholat subuh. Lebih istimewanya lagi, ia meninggal di Masjid, tempat yang sangat mulia. Sungguh, kematian semacam inilah yang banyak di idam-idamkan oleh banyak umat Islam. Setelah sholat Subuh, rumah Kiai Mukhid dibanjiri warga yang ingin bertakziah atas meninggalnya tokoh panutan warga Muhammadiyah. Tidak hanya warga Muhammadiyah, sejumlah tokoh agama, pejabat pemerintah, serta murid-murid almarhum datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Setelah jenazah Kiai Mukhid di sholatkan di Masjid Mujahidin, jenazah itu segera dimakamkan di pemakaman umum Desa Bumiaji. Kiai Mukhid, pak guru yang tegas itu, meninggal dalam usia 78 tahun. Ia telah meninggalkan sejuta goresan kenangan dan teladan bagi keluarga, murid, sahabat, dan sebagian besar warga Muhammadiyah. Bagaimana dengan kita?

Adalah Kiai Haji R. Hadjid, murid termuda Kiai Haji Ahmad Dahlan, dalam masterpicenya yang berjudul, ‘Pelajaran KH.A. Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an’ mencoba merekam pelajaran-pelajaran yang pernah diterimanya dari pendiri Muhammadiyah tersebut. Pada pelajaran pertama, ia menulis perkataan para ulama yang kerap disitir oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, “Manusia semuanya mati kecuali para ulama. Dan semua ulama dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan mereka yang beramal-pun dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas”. Kiranya, kutipan dari pendiri Muhammadiyah itu sangat relevan dalam konteks kepribadian Kiai Abdul Mukhid. Kisah dan teladan sosok guru yang legendaris ini tidak berhenti sampai disini, masih banyak teladan yang perlu kita ambil darinya. Dalam tulisan berikutnya, akan sedikit kami ungkap sepercik keteladanan tersebut. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *