Suatu hari saya diundang oleh salah satu tetangga untuk kenduri dalam rangka 40 hari anggota keluarganya yang telah wafat. Sebuah kearifan lokal yang hingga saat ini masih eksis. Satu persatu tetangga datang. Ada sekian nama yang saya kenal. Misalnya, Pak Jumadi, Pak Sutikno, Jono dan Pak Sudikno. Sejauh yang saya ketahui, secara formal mereka Muslim, terbukti dengan keikutsertaan mereka dalam sholat Ied setiap tahun, meski sholat 5 waktu atau puasa Ramadhan tidak (jarang) mereka kerjakan.
Jika demikian, apa korelasinya keikutsertaan mereka dalam ritus Tahlil, juga apa hubungannya dengan Surga?
Mari kita bahas kisanak!
Tahlilan; Antara ajaran dan tradisi
Sudah menjadi konsensus, bahwa istilah Tahlilan, Kenduri, Selamatan, dan sejenisnya merupakan bentuk lain dari majlis dzikir menggunakan idiom-idiom lokal. Dalam konteks Indonesia, penggunaan istilah tersebut sangat bervariasi, menyesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Misalnya umat Islam di Ambon menamai ritus tahlilan dengan “Doa Pela”, sementara di Lombok dinamakan “Gawe Ruah”, atau “Modungo” bagi muslim di Gorontalo, dan seterusnya.
Secara etimologi, Tahlilan terambil dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu (يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلا), yang artinya membaca kalimat La ila haillallah, namun esensinya, bacaan di dalam sebuah ritus tahlil sangat beragam. Selain kalimat Tahlil sebagai ‘menu utama’ dibaca juga beberapa surat dan ayat Al-Qur-an, shalawat, dan beberapa jenis dzikir lain. Dalam konteks ini, penggunaan istilah Tahlilan dengan muatannya yang variatif, dalam sastra Arab dikenal dengan istilah :
ذِ كْرُالْجُزْءِ وَاِرَا دَةُالْكُلَّ
Menyebutkan sebagian, tapi yang dimaksud adalah seluruhnya.
Dipilihnya istilah Tahlilan, tidak istighfaran atau tasbihan, karena kalimat tersebut merupakan pondasi utama dan pertama dalam Islam. Gus Baha (KH. Bahaudin Nursalim), dalam berbagai kesempatan menjelaskan, bahwa kalimat tersebut merupakan kunci surga, mengucapkannya ada jaminan masuk surga meski pernah berzina atau mencuri.
Dalam praktiknya, ritus Tahlilan dengan tujuan mendoakan arwah atau sekadar rutinitas, selalu dihadiri umat Islam dari berbagai komponen, termasuk Abangan yang notabene tidak terdidik dengan kultur Islam yang baik. Mereka berkenan hadir Tahlilan jika diundang oleh tetangga atau kerabatnya. Sebaliknya mereka enggan atau bahkan tidak hadir di sebuah acara dengan substansi sama, namun menggunakan idiom-idiom Arab, seperti Majlis Dzikir atau Istighosah. Secara sukarela, kelompok Abangan melafalkan kalimat-kalimat toyibah, yang secara implisit telah merealisasikan salah satu aspek dari sunnah Nabi. Salah satu hadits Nabi menyebutkan bahwa,
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ المَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عليهمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَن عِنْدَهُ
“Tidaklah duduk sekelompok orang yang zikir kepada Allah azza wa jalla, kecuali para malaikat mengelilingi mereka, akan diliputi rahmat, dan ketenangan turun kepada mereka dan Allah menyebut nama mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim, 2700).
Dari sini tercipta sebuah konklusi, bahwa penggunaan bahasa dan kearifan lokal memiliki urgensi yang signifikan dalam menentukan sukses dan tidaknya sebuah metode dakwah. Hal yang demikian merupakan salah satu perintah Nabi, agar dalam berbicara (berdakwah) kita menggunakan bahasa dari sebuah kaum.
Tahlil dan Golongan Ketiga
Ketika ritus Tahlilan berlangsung, satu-persatu wajah tetangga saya amati. Seketika itu juga saya teringat tipologi Abangan dalam magnum opus-nya Cliford Geertz, The Religion Of Java. Meminjam istilah Geertz, mereka adalah kelompok Abangan, sebuah idiom bagi muslim yang tidak (kurang) intens menjalankan syari’at Islam. Lantas saya teringat dengan teks hadits didalam Maulid Ad-Diba’i karya Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Umar Asy-Syaibani (866-944 H). Tentang Hadits Israilliyat yang diceritakan oleh ‘Atha’ bin Yasar. Salah satu sahabat Nabi tersebut menceritakan pengalaman Ka’ab Al-Ahbar.
Ayahku telah mengajarkan kepadaku kitab Taurat hingga tamat, kecuali satu lembar yang tidak diajarkan dan memasukkannya ke dalam peti. Setelah ayahku meninggal, aku membuka peti itu, ternyata dalam lembaran itu menerangkan tentang akan Iahirnya seorang nabi akhir zaman, tempat lahirnya di Makkah dan hijrahnya ke Madinah serta kekuasaannya meluas ke sampai negeri Syam. Beliau mencukur rambutnya dan berkain di pinggangnya. Beliau adalah sebaik-baiknya para nabi, dan umatnya sebaik-baik umat.
Mereka bertakbir mengagungkan kebesaran Allah Yang Maha Tinggi atas segala kemuliaannya. Mereka berbaris pada waktu salat sebagaimana barisan mereka dalam peperangan. Hati mereka tempat kitabnya. Mereka selalu memuji Allah dalam keadaan suka dan duka. Sepertiga dari mereka masuk surga tanpa dihisab, sepertiga Iagi datang dengan dosa-dosanya, diampuni. Dan yang sepertiga lainnya datang dengan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan besar. Maka Allah Ta’ala berfirman kepada malaikat:
“Pergilah dan timbanglah amal perbuatan mereka”.
Para malaikat berkata:
“Wahai Tuhan kami. Telah kami dapatkan mereka melampaui batas dan menyia-nyiakan dirinya sendiri. Dan kami dapatkan amal-amal mereka penuh dari dosa-dosa sebesar gunung. Namun mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah”.
Maka Allah berfirman:
فَيَقُوْلُ الْحَقُّ وَعِزَّتِيْ وَجَلاَلِيْ لاَ جَعَلْتُ مَنْ أَخْلَصَ لِيْ بِالشَّهَادَةِ كَمَنْ كَذَّبَ بِيْ اَدْخِلُوْهُمُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِيْ
“Demi kemuliaanKu dan keagunganKu tidak akan Ku-jadikan orang yang memurikan kesaksian kepadaKu seperti orang yang mendustakanKu, masukkan mereka ke dalam surga dengan rahmatKu”
Golongan ketiga dari umat Nabi Muhammad dalam hadits tersebut tak lain adalah kelompok Abangan dalam tipologi Geertz, karena berbagai kesamaan yang menyertai keduanya. Pada gilirannya, jika ada yang membid’ahkan ritus Tahlil sangat tidak bijak, karena dengan istilah bid’ah berimplikasi menjadikan mereka sesat, dan yang sesat tempatnya di neraka. Dus, dengan ritus Tahlilan selain menjaga kerukunan antar umat Islam, setidaknya masih ada rahmat dan ridha Allah yang turun bagi saudara kita dari kalangan Abangan.
Secercah harapan masuk Surga
Pada akhirnya saya berkesimpulan, sangat mungkin para penyebar Islam terdahulu menggunakan Tahlilan sebagai media dakwah karena besarnya kasih sayang mereka terhadap umat Islam (bil mu’minina raufurrahim). Bahwa realitas umat Islam Indonesia yang beragam merupakan sebuah fakta. Ada sebagian dari mereka ada yang kurang taat dalam menjalankan syariat Islam, namun berkenan hadir dalam acara Tahlilan. Secara sukarela mereka mengucapkan kalimat-kalimat yang telah mengundang ridha Allah. Jika demikian, masih ada secercah iman dalam hati mereka. Masih terbuka lebar harapan untuk masuk surga, seperti dalam hadits dari Atha’ bin Yasar. Bukankah demikian? Wallahu a’lam bish Shawab.
Mantab