Teras Rasa

Mimikri

Bukan bermaksud bernostalgia dengan masa SMA, plus sekarung kenangan masa lalu yang tercipta kembali saat momen reuni—yang sering hadir di bulan Syawal seperti ini. Bukan juga “Mimi” nama seorang cewek, apalagi gabungan dari dua nama: Miki dan Sukri—yang dulu oleh generasi menjelang tahun 2000 digunakan sebagai inisial untuk menunjukkan kedekatan.

Tapi “mimikri” adalah salah satu materi pelajaran biologi di awal-awal SMA, tentang bagaimana seekor hewan punya kemampuan istimewa: meniru atau menyerupai spesies lain, baik dalam penampilan maupun perilaku, sebagai bentuk adaptasi untuk bertahan hidup. Tujuannya bisa untuk menghindari predator, atau malah menarik perhatian mangsa. Semisal bunglon dan sejenisnya, yang bisa meniru warna objek tempat ia berada.

Hari Raya Idulfitri adalah momen istimewa—ajang silaturahmi, saling bermaafan, hilir mudik ke sana kemari. Seperti juga yang lain, kami pun melakukan hal yang sama: berkunjung ke rumah sahabat, tetangga, dan famili. Bercengkerama, ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal. Karena jarang bertemu, jarang pula ada kesempatan untuk meluangkan waktu bersama.

Ada seorang sahabat, yang karena lama merantau di kota besar, berusaha menyesuaikan diri. Setiap Lebaran pulang kampung naik mobil bagus—ternyata mobil rental. Akhirnya secara ekonomi agak keteteran, besar pasak daripada tiang.

Alhamdulillah, hari-hari ini dia tampak lebih ceria. Tempo hari, santai saja dia pakai sepeda motor. Tampak lebih tampan, dan istrinya pun terlihat lebih cantik—bergelayut manja di belakangnya. Realistis. Dia sedang berada di rel yang benar menuju kekayaan. Semoga tahun depan Toyota Zenix menemaninya, lengkap dengan STNK dan BPKB atas namanya.

Ketemu lagi dengan famili yang kelihatannya baik-baik saja, tapi ternyata beberapa organ tubuhnya bermasalah. Sakit. Ceritanya, dia merenovasi beberapa bagian rumah agar tampak lebih bagus—seperti rumah-rumah tetangganya. Uang bank yang digunakan untuk merehabnya masih menjadi tanggungan hingga sekarang, belum juga lunas.

Saya masih ingat betul nasihat dari seorang dokter senior, Prof. Joko, konsultan medis, yang tiga tahun lalu pernah praktik di Jalan Bromo, Malang. Beliau bilang bahwa ¾ penyakit fisik berasal dari sini—sambil
menunjuk ke kepala. Tekanan mental. Stres. Ada sedikit keluhan fisik, lalu ke dokter A—dibilang begini dan begitu, banyak larangan. Belum sembuh, pindah ke dokter B, dilarang ini itu juga. Akhirnya, kita susah makan, takut ini takut itu, stres, kurang gizi. Hasilnya: makin sakit.

“Lakukan general check-up, nanti silakan datang lagi,”

Ketika datang lagi dan beliau melihat hasil lab, hanya beberapa item yang dicentang. “Bagus, nggak terlalu masalah,” katanya.

“Kamu masih muda, belum saatnya sakit. Aku seusia begini—sekitar 75 tahun—malah punya hobi baru: naik gunung,” tambahnya.
“Pagi-pagi jalan kaki di luar rumah 30 menitan, itu juga yang aku lakukan,”
“Kalau belum membaik, datang lagi 3 bulan ke depan. Aku sekarang punya banyak uang, tapi nggak aku kasih resep obat. Makan aja yang kamu suka,” katanya lagi sambil tersenyum lebar.

Keluar dari tempat praktik beliau, rasanya lega sekali. Langsung geser ke Lai-Lai Supermarket, beli jajanan besar: kue tradisional Jawa dan Tionghoa, kesukaan sejak kecil. Bawa oleh-oleh untuk famili dan tetangga. Lalu mampir ke Batu, makan rawon. Tiap hari membaik. Alhamdulillah, sembuh dalam tempo cepat
tanpa harus kontrol lagi.

Keluar dari tempat praktik beliau, rasanya lega sekali. Langsung geser ke Lai-Lai Supermarket, beli jajanan besar: kue tradisional Jawa dan Tionghoa, kesukaan sejak kecil. Bawa oleh-oleh untuk famili dan
tetangga. Lalu mampir ke Batu, makan rawon. Tiap hari membaik. Alhamdulillah, sembuh dalam tempo cepat tanpa harus kontrol lagi.

Selamat Hari Raya Idulfitri
Taqabbalallahu minna wa minkum, siyamana wa siyamakum.
Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

1 komentar untuk “Mimikri”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *