Teras Rasa

Rumah: Titik Nol Perubahan Indonesia

Ketika saya mengajak anak untuk shalat berjamaah, mungkin tipikal usia mereka yang masih remaja membuat mereka tetap mau diajak ke masjid. Tapi begitu salam, langsung “plencing”, ngacir pergi. Masalahnya, saat itu masih ada jamaah yang wirid atau berdoa, sementara mereka pergi begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa atau kurang menunjukkan gestur yang beretika dan sopan. Slonong boy, istilah yang sempat ngetren di era 90-an.

Ketika ada kesempatan berdua dengannya, saya coba ajak diskusi. Setiap bahasa dan negara punya etika yang hampir serupa ketika kita mengganggu orang lain. Misalnya, saat lewat di dekat atau di depan orang lain—apalagi jika orang itu sedang duduk—di Inggris ada “excuse me”, di Jepang ada “shitsurei shimasu”. Kita punya seabrek kata untuk itu: permisi, ngapunten, nuwun sewu, nderek langkung, dan sebagainya. Dengan sedikit menundukkan kepala atau tubuh, sambil memandang wajah orang yang kita lewati, meski hanya lip-sync atau bahasa bibir, itu sudah cukup untuk menjaga keseimbangan situasi—orang yang dilewati tidak terganggu, kita pun bisa mencapai lokasi dengan nyaman, aman, elegan, dan tetap beretika.

Saat liburan seperti minggu lalu, anak-anak banyak di rumah, berkumpul dengan keluarga secara lengkap. Ternyata banyak hal yang bisa kita kontrol. Kalimat-kalimat yang mereka adopsi dari partner game yang mereka mainkan sering kali terdengar mengerikan, keluar dari kaidah kesopanan—terutama bagi kita yang hidup dalam kultur Jawa, meski sering dianggap sebagai yang paling tidak halus dari segi bahasanya.

Begitu juga soal etika mereka di tempat umum, sebagaimana telah disebutkan di atas. Di sinilah peran orang tua harus hadir: memantau, mengontrol, dan mengingatkan. Memberi contoh saja tidak cukup.

Narasi-narasi di media sosial, maya maupun cetak, berserakan tentang “Indonesia yang gelap” dan sejenisnya. Benar tidaknya, wallahu a‘lam. Kami tak cukup representatif untuk mengamati masalah nasional secara utuh. Tapi satu hal yang bisa dicatat: banyaknya kasus muncul akibat pelanggaran etika.

Soal etika, saya coba bertanya ke AI, ke ChatGPT—yang sering dianggap musuh bagi para penulis. Tapi kali ini saya coba merangkulnya. Saya kutip penjelasan darinya:

Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai, prinsip, dan standar perilaku yang dianggap benar atau salah oleh masyarakat. Etika berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti “Apa itu kebaikan?”, “Apa yang membuat suatu tindakan itu benar atau salah?”, dan “Bagaimana sebaiknya kita hidup bersama?”

Kesimpulannya, etika adalah landasan penting yang membantu kita menentukan apa yang baik dan benar dalam kehidupan. Dengan memahami etika—baik secara teoritis maupun dalam penerapannya—individu dan masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana serta menciptakan lingkungan yang harmonis dan adil. Semakin berkembang pemahaman tentang etika, semakin besar pula kesempatan kita mengatasi dilema moral dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari hubungan pribadi hingga kebijakan global.

Banyaknya kasus di negeri ini lahir dari ketidakjujuran, ketidakbermoralan, ketidakkemanusiawian, dan sebagainya, yang memicu protes, demonstrasi, dan kerusuhan. Kita patut bertanya: seperti apa lingkungan keluarga yang melatarbelakanginya? Semoga ada yang meneliti lebih lanjut tentang masa lalu para pelaku kecurangan, korupsi, dan kriminalitas di negara ini.

Tulisan ini saya buat saat gabut menunggu, dari depan setir mobil pickup seminggu lalu. Siang itu, bila tiga minggu yang lalu bisa kami gunakan untuk puasa bedug di tengah lapangan, kali ini saya sedang mengurus uji KIR mobil angkutan. Dua jam sudah berlalu—sia-sia, tapi tetap menunggu. Biasanya baru selesai nanti saat Dzuhur.

Andai para pengambil kebijakan tentang uji KIR ini punya etika, bisa berempati terhadap para peserta uji KIR, dan sedikit saja merasakan hikmah dari ibadah empati (seperti empati terhadap orang yang kekurangan makan di bulan Ramadan kemarin), pastilah mereka akan mendirikan lebih banyak tempat uji KIR. Dulu sempat diwacanakan akan menggandeng pihak swasta: swastanisasi uji KIR. Saya yakin itu lebih efisien.

Rasanya belum pernah saya jumpai kolektor mobil pikap atau mobil angkutan—mobil ini jelas untuk usaha. Pemerintah tidak perlu repot menciptakan pekerjaan bagi pemilik mobil pikap. Mereka sudah menciptakan usaha sendiri. Itu sudah sangat meringankan beban negara. Andai uji seperti ini bisa dipangkas jadi hanya satu jam, pasti para pelaku usaha akan lebih tertib, bahkan rela antre. Negara pun dapat pemasukan lebih besar. Aktivitas usaha pun tak terganggu satu hari hanya untuk uji kendaraan setiap enam bulan. Hal-hal yang menciptakan biaya ekonomi tinggi semestinya bisa diminimalkan.

Kemarin ada kiriman video dari sahabat lama, tentang bagaimana sebuah desa di Jawa Tengah—tepatnya Desa Wunut, Kabupaten Klaten—yang mensejahterakan warganya lewat usaha desa mengelola tempat wisata. Ini buah dari menjunjung tinggi etika, dengan menciptakan lingkungan yang harmonis, adil, dan jujur. Saya balas chat-nya begini:

“Oase di tengah kegersangan
Cahaya di tengah kegelapan
Kreativitas terbalut kejujuran

Pangeran nyiptaknone limited edition 😁😁😁”

Saya jawab lagi:

“Kita bangun dari rumah kita.
Let’s brighten Indonesia, starting from our home.
Agak keminggris, tapi itulah bahasa gaul kami berdua.”

Meski berat, saya terus berusaha mengontrol keluarga—terutama anak-anak—di tengah derasnya pengaruh luar yang makin tak karuan.

Memang tidak instan untuk memperbaiki negeri ini. Tapi kita bisa memulainya dengan instan:
Menerapkan akhlak yang baik, nilai-nilai etika yang terjaga dalam keluarga.
Insya Allah, generasi setelah kita akan membawa negeri ini ke arah kemajuan yang lebih pesat.
Kami kira, bukan hanya MBG (Makan Bergizi Gratis) jawabannya—masih banyak alternatif lain yang bisa kita mulai… dari rumah, sekarang juga.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *