
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ ١
Telah sempurna kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan (mengandung) kebenaran dan keadilan. Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS 6:115
Realitas adalah segala sesuatu yang secara empiris faktual kita kenali. Ia hadir dalam kejelasan, keterukuran, keseimbangan, dan kesederhanaan. Realitas yang stabil, tidak berubah, dan tidak membingungkan, memungkinkan kita menjalani kehidupan sehari-hari tanpa perlu terus-menerus memikirkannya. Ia seperti udara yang kita hirup: ada, nyata, tetapi sering kali diabaikan karena kehadirannya yang begitu alami. Namun, bagi yang ingin menggali lebih dalam, realitas menawarkan kompleksitas yang tersembunyi di balik kesederhanaannya.
“Gitu aja kok repot…!”
Kalimat itu mungkin akan diucapkan oleh si Bendot, kambing piaraan di kandang belakang rumah Pak Bayan, dalam dialog imajinatifku. Pak Bayan, sambil memberi makan Bendot yang tak pernah kenyang, hanya tersenyum dan berbisik, “Ojo digawe repot…”—seolah mengingatkanku untuk tidak merusak kesederhanaan dan keseimbangan realitas yang telah dinikmati oleh semesta. Bagi Pak Bayan, realitas adalah sesuatu yang telah sempurna dalam dirinya sendiri, tak perlu diutak-atik. Keyakinan primordialnya, yang ditanamkan oleh orang tua, guru, dan alam semesta, mengajarkan bahwa “Tak ada perubahan dalam realitas semesta; ia telah sempurna.”
Namun, di tengah kesederhanaan itu, Pak Bayan menyelipkan sebuah lagu dolanan:
“Ning nong ning gung Pak Bayan, sego jagung ora doyan, Iwak pitik enake, ketiban dingklik aduh mboke.”
Lagu ini, sekilas tampak sederhana, ternyata menyimpan makna yang dalam. Tak dapat kunafikan kecanggihan dan kedewasaan perdebatan antara Neils Bohr dan Einstein tentang dualitas realitas dan kebenaran, tetapi tak dapat aku pungkiri rasa kagumku atas kesederhanaan ekspresi utuh dan komprehensif lagu dolanan Pak Bayan dalam membentangkan sifat evolutif-osilatif kebenaran dalam berhadapan dengan realitas. Ia bukan sekadar permainan kata-kata kanak-kanak, melainkan sebuah sindiran halus tentang osilasi antara kebenaran dan realitas. Lagu ini mengajarkan tentang pertimbangan, pilihan, dan konsekuensi—sebuah refleksi dari dinamika kehidupan yang kompleks.
OSILASI: ANTARA NING, NONG, NING, DAN GUNG
“Ning, nong, ning, gung” bukan sekadar rangkaian bunyi. Ia adalah metafora untuk osilasi— gerakan bolak-balik antara dua keadaan. Seperti partikel dalam fisika kuantum yang berada dalam superposisi, pikiran kita pun sering kali berosilasi antara pilihan-pilihan yang ada. “Ning, nong, ning” adalah fase pertimbangan, di mana kita menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan (“gung”). Setiap “gung” adalah langkah aktual yang memiliki implikasi dan konsekuensi.
Dalam lagu itu, “sego jagung” (nasi jagung) melambangkan kenyang yang sederhana, sementara “iwak pitik” (ayam) mewakili keinginan yang lebih kompleks akan kenikmatan yang lebih tinggi. Keduanya bertemu dalam realitas masa kini, dalam keadaan superposisi: kebutuhan dasar versus keinginan yang lebih kompleks. Pilihan untuk tetap dengan “sego jagung” atau tak lengkap tanpa “iwak pitik” bukanlah sekadar soal perut, tetapi juga tentang keseimbangan hidup, dan kesiapan atas implikasi dan menanggung konsekwensinya.
SUPERPOSISI DAN ENTANGLEMENT: REALITAS YANG TERKAIT
Dalam fisika kuantum, superposisi adalah keadaan di mana partikel berada dalam dua kondisi sekaligus sebelum diukur. Entanglement adalah keterkaitan antara partikel-partikel, di mana perubahan pada satu partikel memengaruhi partikel lainnya. Konsep ini, meskipun berasal dari dunia mikroskopis, memiliki analogi dalam kehidupan sehari-hari.
“Sego jagung” dan “iwak pitik” adalah dua realitas yang terentang dalam waktu: yang satu dari masa lalu, yang lain dari masa depan. Ketika keduanya bertemu dalam masa kini, mereka membentuk superposisi—sebuah pertemuan antara apa yang sudah cukup (“wareg”) dan terkait dengan apa yang diinginkan (“enak”). Pilihan yang kita buat akan menentukan bagaimana simetri ini akan “runtuh” (breaking symmetry) dan memunculkan realitas baru (emergent).
KONSEKUENSI: KETIBAN DINGKLIK ADUH MBOKE
Setiap pilihan memiliki konsekuensi. “Ketiban dingklik aduh mboke” adalah metafora untuk konsekuensi yang tak terduga. Ketika kita memilih kecukupan “sego jagung” lengkap dengan keenakan “iwak pitik”, kita harus siap menanggung risiko—entah itu beban materi, energi, atau bahkan moral. Keinginan yang berlebihan, tanpa disertai kesiapan, dapat menciptakan ketidakstabilan dalam sistem kehidupan kita.
Ini mengingatkan kita pada prinsip “Ati karep bondo cupet”—keinginan yang besar tanpa diimbangi dengan sumber daya yang memadai hanya akan menciptakan beban yang tidak perlu. Kesederhanaan, seperti yang dipegang teguh oleh Pak Bayan, adalah kunci untuk menjaga keseimbangan dalam kompleksitas hidup.
BAYAN: KESEMPURNAAN DALAM KATA
Nama “Bayan” bukanlah sekadar pilihan acak. Dalam bahasa Arab, “bayan” berarti kejelasan, kemampuan untuk membedakan, dan menyampaikan pesan dengan tepat. Kata ini mencerminkan sifat kesempurnaan dalam berkomunikasi—sebuah kemampuan untuk menghubungkan realitas dan kebenaran dalam satu kesatuan yang harmonis berosilasi di antara kesederhanaan dan kompleksitas.
Melalui “bayan”, kita belajar untuk membangun jarak antara realitas baru yang kita hadapi dengan realitas lama yang telah kita alami, antara kebenaran yang baru kita dengar dan telah kita sampaikan. Ini adalah proses yang menuntut ketajaman akal dan kedewasaan berpikir. Seperti lagu dolanan Pak Bayan, “bayan” mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan mempertimbangkan sebelum bertindak.
REALITAS YANG MENGALIR: DARI SIMETRI KE ENTROPI
Realitas adalah samudra kejadian yang tak bertepi, mengalir dari masa lalu ke masa depan. Berdasarkan hukum termodinamika kedua, realitas bergerak dari keteraturan (simetri) menuju ketidakteraturan (entropi). Dari yang sederhana, ia berkembang menjadi semakin kompleks. Dalam arus perubahan ini, kesederhanaan Pak Bayan hadir sebagai penyeimbang—sebuah pengingat bahwa di balik kompleksitas, ada keindahan dalam kesederhanaan.
Realitas adalah medan osilasi antara kesederhanaan dan kompleksitas, dimana melaluinya kebenaran menyeruak memberi makna atas realitas yang sedang terjadi dan dihadapi. Melalui lagu dolanan Pak Bayan, kita diajak untuk merenungkan dinamika ini: antara “ning, nong, ning” dan “gung”, antara “sego jagung” dan “iwak pitik”, antara kebutuhan dan keinginan. Kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan keseimbangan yang menopang kompleksitas hidup. Kompleksitas bukanlah ancaman dan hambatan yang harus ditakuti dan dihindari, tetapi dihadapi dengan cara sederhana dengan implikasi yang mampu ditangani dan konsekwensi yang tidak merepotkan.
Dalam kesederhanaan itu, kita menemukan kejelasan. Dalam kejelasan, kita menemukan kebenaran. Dan dalam kebenaran, kita menemukan diri kita sendiri—sebagai bagian dari realitas yang terus mengalir, dari simetri menuju entropi, dari yang sederhana menuju yang kompleks.
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
Ubur-Ubur ikan lele. Ini bagus ya le…
menyusul : Pragmatis, Idealis, dan Kebenaran
Joss. saya mau jadi pragmatis saja. hehehe
kayak gak asing dengan pembahasan artikel ini. Antara Ibnu Arabi dan mulla sadra.
Hehehehe…bacaan serius
Hehehehe