#Awal abad ke-20, sejarah pemikiran Islam diwarnai beberapa pemikir yang kritis terhadap beberapa dogma dan ajaran teoritis Islam. Jika pada umumnya umat Islam hanya stagnan, pasrah, dan menerima begitu saja beberapa ajaran yang telah diterima, tanpa perlu mengelaborasi pemikiran, perenungan, dan pengkajian ulang. Taken for granted. Sebaliknya, para filsuf dan pemikir Islam itu selalu dilanda keresahan dan berusaha untuk menggali nilai-nilai Islam lantas merumuskan serta mentrasformasikannya dalam bentuk narasi. Itulah yang oleh sebagian besar ilmuwan Islam kerap dinamakan ‘Teologi Transformatif’ atau ‘Teologi Pembebasan’ . Salah satu pemikir itu bernama Asghar Ali Engineer.
Asghar Ali Engineer merupakan salah satu pemimpin Sekte Syi’ah Ismailliyah, Daudi Bohras yang berpusat di Bombay India. Sebuah serpihan kelompok Syiah yang meyakini Maulana Abu Al-Qasim Ath-Thayib yang menghilang pada 526 H, akan kembali sebagai Mesias, Ratu Adil, Juru Selamat yang akan menegakkan nilai keadilan di seluruh belahan dunia. Sebelum kedatangan mesias, mereka dipimpin oleh seorang pemuka yang dinamakan Da’i. Menjadi Da’i bagi sekte ini bukan perkara ringan, setidaknya harus memiliki 94 kualifikasi. Secara global, kualifikasi dapat diringkas dalam 4 kategori utama. Pertama, kulifikasi administratif. Kedua, kualifikasi moral dan teoritikal. Ketiga, kualifikasi keluarga dan kepribadian. Dan terakhir kualifikasi pendidikan. Asghar Ali Engineer telah memenuhi 94 kualifikasi tersebut, mengantarkannya menjadi pemimpin sekte Syi’ah Ismailiyah Daudi Bohraz.
Menarik untuk dicermati, dalam salah satu bukunya berjudul Islam and Its Relevance to Our Age, Asghar Ali Engineer berusaha merekrontuksi ulang pengertian ‘Kafir’ menggunakan pendekatan kritis historis. Secara umum, istilah kafir kerap disematkan terhadap kelompok diluar koridor Islam, maka tidak demikian dengan Asghar. Dengan panjang lebar Asghar telah mengartikulasikan melalui pendekatan sejarah. Ketika Islam sebagai agama pertama kali dideklarasikan oleh Nabi Muhammad Saw di Makkah, rata-rata yang melakukan penolakan terhadap ajaran suci ini adalah kaum elit Makkah, Kapitalis Makkah, kelompok borjuis yang memonopoli jalur perdagangan, dan para penguasa budak. Mereka bisa bernama Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb, dan para elit kota Makkah yang lain. Kepada merekalah istilah kafir untuk pertama kali disematkan. Sehingga, turun beberapa ayat-ayat yang mengecam penumpukan harta, bermegah-megahan, kikir, sombong, dan pamer harta. Ayat-ayat tersebut dapat ditemukan pada Surat Al-Humazah, Al-Maun, Al-Kautsar, Abasa dan beberapa surat pendek yang turun pada periode Makkah.
Sebaliknya, pengikut Nabi Muhammad Saw generasi pertama didominasi oleh kaum marginal, para budak, orang miskin, dan mereka yang tidak mempunyai supremasi politik yang kuat. Mereka bernama Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, Ibnu Ummi Maktum, Summayah binti Khalat dan lain-lain. Merekalah assabiquna awwalun yang telah mengalami berbagai penyiksaan fisik, marginalisasi hak-hak sosial dan politik.
Dengan uraiannya itu, Asghar Ali Egineer sampai pada sebuah kesimpulan, tentang definisi kafir. “Thus, it is very clear that infidels in the real sense are people who accumulate wealth and perpetuate injustice, and obstruct efforts to uphold justice in society” (Dengan demikian, sangat jelas bahwa orang-orang kafir dalam arti sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan secara terus-menerus ketidakadilan, serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat). Selanjutnya Asghar mengatakan, “By preaching La illaha illah, the Prophet Muhammad not only rejected the idol installed in the Kaaba, but also refused to recognize the authority of the powerful interest groups and structures that existed at his time” (Dengan mendakwahkan La illaha illah, Nabi Muhammad tidak hanya menolak berhala yang dipasang di Ka’bah, tetapi juga menolak untuk mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur yang ada pada masanya).
Jika demikian, apa relevansinya pemikiran Asghar Ali Egeneer pada saat ini?
Hidup di era 4.0, mayoritas orang berlomba-lomba menumpuk harta. Membangun rumah bak istana. Memakai pakaian berikut perhiasan mewah. Lantas menyebut dirinya ‘sultan’, Masih ditambah kebiasaannya untuk mengekspos di berbagai media sosial. Sementara kemiskinan adalah identitas mayoritas penduduk Indonesia.
Atau yang kerap memesan makanan sebanyak-banyaknya. Kemudian diberi pembenaran dengan istilah mukbang. Dan dengan rakus mereka memakannya sebisa mungkin. Sementara kelaparan masih menjadi bagian dari tradisi saudara-saudara kita di berbagai belahan bumi lain. Mereka adalah ‘kafir’ menurut penafsiran Asghar Ali Engineer. Dan masih banyak lagi variabel-variabel dan sub-sub bagiannya.
Bagaimana dengan kita?
Wallahu a’lamu bish Shawab.