Teras Rasa

KH. Mubayyin Syafii dan Catatanku terhadap uraiannya

اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ

“Kuburlah wujudmu (eksistensimu) di dalam bumi kerendahan (ketiadaan); maka segala yang tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya.”

Demikian deretan kalimat  indah yang diucapkan oleh KH. Mubayyin Syafii dalam membuka sebuah pengajian pada tanggal 15 Desember 24 kemarin. Kalimat indah itu beliau kutip dari Kitab Al-hikam karya Ibnu Athaillah As-Sakandari, sebuah aforisme sufistik yang masyhur didalam diskursus ilmu Tasawuf. Dengan segala keterbatasan, kami tidak bisa menguraikan secara komperehensif dan mendetail apa yang telah disampaikan oleh kiai sepuh tersebut. Dalam catatan sederhana kami, setidaknya ada beberapa poin penting yang menarik dan perlu untuk digarisbawahi.

Bahwa bertambahnya ilmu seseorang, idealnya mampu meningkatkan jumlah dan kuantitas ibadah. Begitu juga dengan semakin bertambahnya usia, seharusnya berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas ibadah.

Berat sekali sebutan bagi ‘orang alim’ akan tetapi tidak mempunya nilai manfaat dari ilmu yang telah dipelajarinya. Paham terhadap banyak hal, akan tetapi minim dengan aksi, implementasi, dan pelaksanaan. Alangkah indahnya jika seorang yang berilmu juga diiringi dengan pengamalan terhadap ilmu. Misalnya, dengan cara mengajarkan ilmu yang telah di dapatnya, atau dengan meningkatkan kualitas ibadah sebagai efek dari kedalaman ilmunya. Hal itu pula yang mendasari salah satu hadits yang berisi doa agar terhindar dari ketidakmampuan untuk mengamalkan ilmu, juga terhindar dari bahaya yang ditimbulkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Doa tersebut diungkapkan Oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam pengantar risalahnya, Bidayah Al-Hidayah, Ya Allah aku berlindung dengan engkau daripada ilmu yang tidak memberi manfaat dan daripada hati yang tidok khusyuk dan daripada amalan yang tidak diangkat (tidak diterima) dan daripada doa yang tidak didengar (tidak dimakbulkan).” (Hadis riwayat Ahmad)

Dalam perspektif atau pandangan terkait terkabulnya sebuah doa, seharusnya kita selalu positif thinking. Bahwa semua doa akan diterima dan dikabulkan oleh Allah adalah sesuatu yang telah pasti. Hanya bentuk terkabulnya saja yang bermacam-macam, sesuai dengan kehendakNya, bukan kehendak seorang hamba. Begitu juga dengan waktu terkabulnya, melintasi batas waktu. Tidak hanya dalam waktu tensis persen tense (sekarang), tapi juga ada tensis future tense, terkabul pada masa-masa yang akan datang. Bahkan bisa jadi dikabulkan ketika di akhirat kelak. Karena itu, tetaplah berdoa, jangan berputus asa, karena doa merupakan bagian dari ibadah. Terlebih terdapat sebuah maqolah (kutipan) yang berbunyi, La Yaruddu qodho illa du’a (tidak akan bisa merubah sebuah takdir kecuali dengan doa).

Wallahualam bis shawab  

2 komentar untuk “KH. Mubayyin Syafii dan Catatanku terhadap uraiannya”

  1. Mantabs…Iki..terus menulis ..Gus…tidak ada hari tanpa menulis. Ingat pesan Imam alghozali kalau kita bukan putra sekarang ualma yg alim dan bukan putra sekarang penguasa maka menulislah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *