Pepatah klasik Jawa mengatakan, ‘Asmo kinaryo jopo’ (nama/kata layaknya sebuah mantra yang bertuah). Sebuah mantra, apalagi diberi embel-embel bertuah, sangat sakral dikalangan orang Jawa. Kepercayaan yang demikian sudah tersimpan rapi dalam struktur alam bawah sadar manusia, khususnya orang Jawa. Karena itu, pemilihan kata, gaya bahasa, diksi, judul dalam mengutarakan sebuah gagasan atau pesan yang hendak disampaikan sangatlah mutlak diperlukan. Dalam sistem komunikasi modern, pemilihan tagline dan point of view yang kuat, sederhana, menarik, mudah di ingat, serta kekinian mempunyai peran yang cukup signifikan dalam proses transferisasi pesan terhadap komunikan (receiver).
R. Ng. Ronggowarsito telah menggunakan idiom Jaka Lodhang untuk mengutarakan pemikiran dan gagasannya tentang nilai-nilai luhur kehidupan. Tentu, pemberian istilah tersebut sesuai dengan budaya dan norma-norma yang berlaku saat itu. Dan, sebuah idiom ketika telah dikeluarkan sebagai sebuah gagasan, akan melesat dari sumbernya, lantas menghunjam didalam bingkai pemikiran receiver sebagai penerima. Karenanya, selalu terjadi bias dan multi tafsir atas sebuah gagasan seorang pemikir, sesuai dengan paradigma dan perspektif mana ketika mencoba menganalisa. Hal yang demikian berlaku juga dengan istilah Jaka Lodhang.
Pakar filsafat kontemporer dari UIN Sunan Kalijaga, Dr. Fahrudin Faiz, telah mencoba menginterpretasikan Jaka Lodhang dari aspek kebahasaan (etimologi). Dalam salah satu sesi kajiannya di Masjid Jenderal Sudirman, penulis buku ‘Sebelum Filsafat’ itu menyatakan, ‘Joko itu perjaka, Lodhang itu yang sudah tuntas pekerjaannya, sudah longgar, sudah selesai perjalanannya’. Menurut Dr. Fahrudin Faiz, lazimnya seorang perjaka itu masih dikejar-kejar dengan berbagai pekerjaan. Karena itu, luar biasa dan langka sekali apabila ada seorang perjaka yang sudah ‘lodhang’, sudah tuntas, dengan berbagai hiruk-pikuk tersebut. Lebih lanjut Dr Fahrudin Faiz menjelaskan, bahwa maksud sebenarnya dari Jaka Lodhang adalah metafor akan seorang anak muda yang masih jernih, belum terkontaminasi pemikirannya dengan hal-hal yang bersifat negatif, dan orang Jawa kerap memberi istilah ‘joko ting-ting’. Lebih istimewanya lagi, anak tersebut telah tuntas dengan berbagai hiruk pikuk kehidupan.
Sedikit berbeda dengan Dr. Fahrudin Faiz, R. Ng. Sastrasadarga dalam ‘Jangka Ronggowarsito’ telah menginterpretasi arti kata Jaka Lodhang, ‘Jaka Lodhang punika dutaning Jawata, (utusaning Pangeran); ingkang boten kasumerepan dhatengipun’ (Jaka Lodhang adalah duta dari Dewata, utusan Tuhan, yang tidak diketahui dari mana datangnya). Artinya, Jaka Lodhang merupakan simbolisasi dari para Nabi, Rasul, wali, suciwan, avatar, mahayogi, dan para santo, berikut pewaris transmisi pengetahuan dan perilakunya.
Sementara Padmasukaca menjelaskan arti kata Jaka Lodhang, ‘arane buku karangan Ranggawarsitan, isine Jaka Lodhang awujud wanara medhar jangkane jaman marang Panji Putra’ (nama sebuah buku karangan R. Ng. Ranggawarsito yang berisi tentang seorang yang bernama Jaka Lodhang, yang berwujud kera tengah menjelaskan ramalan zaman kepada Panji Putra). Jaka Lodhang dalam definisi Padmasukaca adalah ‘Kethek Ogleng’, salah satu varian dari sekian kisah-kisah Panji. Dimana diceritakan bahwasanya R. Panji Hasmarabangun (Inukertapati) sebagai tokoh utama, rela menyamar menjadi seekor kera (Kethek Ogleng) demi mencari kekasihnya yang hilang, Dewi Candrakirana (Dewi Sekartaji). Didalam penyamarannya tersebut, R. Panji Hasmarabangun sempat memberikan wejangan tentang jangka (kejadian yang akan datang) kepada Panji Putra.
Meskipun sedikit berbeda, ketiga tafsir tersebut saling melengkapi satu sama lain, simbiosis mutualisme. R. Ng. Sastrasdarga lebih tertuju pada esensi dan peran sosok Jaka Lodhang, sebaliknya Dr. Fahrudin Faiz cenderung atas penjelasan dan ciri-ciri sosok tersebut. Sementara Padmasukaca terfokus kepada fisiologi sosok tersebut berdasarkan cerita-cerita kuno yang ada. Maka, berdasar tiga tafsir tersebut, kami meyakini bahwa Jaka Lodhang adalah simbolisasi atas sikap, respon, dan pemikiran solutif dari Sang Pujangga (R. Ng. Ronggowarsito) sendiri, atas berbagai fenomena yang terjadi saat itu. Sebuah animo masyarakat yang sedang dan akan terus terjadi di masa-masa yang akan datang (Present, Continous tense).
Jika dicarikan padanan dalam istilah Tasawuf, Jaka Lodhang tak ubahnya dengan ‘maqom fana’. Gambaran dari seorang yang telah terbebas, kosong, sirna dari berbagai sifat-sifat tercela. Terbebas dari ‘ada’ menjadi ‘tiada’. Terkendali dari berbagai varian syahwat. Dan seterusnya seperti yang ditulis dalam Risalah Qusyairiyah yang monumental itu. Dus, untuk lebih mudah memahami esensi Jaka Lodhang, kami istilahkan dengan term ‘manusia bebas’ (Free Man). Ya, manusia bebas. Manusia yang telah bebas 100% dari segala jenis perbudakan, penjajahan, dan penindasan. Jenis ekspektasi yang pernah terlintas dalam pemikiran Sang Guru Bangsa, Tan Malaka. Manusia bebas inilah yang berhak menjadi titahing Jawata, penerus pengetahuan, semangat, dan perilaku para Nabi. Sanggup menjadi agent of change dalam setiap pergantian zaman (owah gingsir ing zaman). Manusia bebas yang berada dalam alam kesadaran (eling), berpandangan positif terhadap gerak roda kehidupan (cakra manggilingan), baik kemarin (purwa), sekarang (madya), dan yang akan datang (wusana). Demikian