#1
Aku masih ingat saat-saat itu, dan seakan-akan masih terjadi kemarin malam, ketika bapak mengajakku menonton pagelaran wayang kulit di TV hitam putih merek intel pada suatu malam minggu menjelang pergantian tahun 2001. Sebuah aplikasi kecintaan akan budaya bangsa yang riil, tanpa perlu sejuta teori, dalil atau argumen yang dibalut nilai-nilai edukatif. Sebagai dalang, adalah Ki Entus Susmono dari Tegal, salah satu dalang yang masuk nominasi dalang kondang masa itu. Alur cerita berjalan normal, lurus, sesuai dengan pakem pedhalangan gagrak Surakarta. Namun, ketika karakter wayang Sengkuni dimunculkan, butir-butir kebencian, emosi dan rasa gemes segera menyergap kesadaran Ki Entus. Sebilah parang dikeluarkan, lekas ia mencacah wayang Sengkuni yang ia genggam di tangan kiri menjadi beberapa bagian. Akupun terkejut melihat adegan itu, sebuah adegan yang cukup dramatis dan penuh dengan gimik-gimik teatrikal. Pasca itu, terbesit keingin tahuanku akan sosok Sengkuni. Who is Sengkuni? Bapak hanya bisa menjawab, dia adalah Arya Suman, paman dari Kadang Sata Kurawa. Tokoh antagonis dalam wiracarita pewayangan yang culas, hipokrit, dan gemar menebarkan benih-benih kebencian. Bapak hanya tamatan SD, karena itu ia tidak bisa memuaskan rasa penasaran seorang remaja yang sedang meluap-luap. Keesokan harinya beliau membelikan buku ‘Pepak Basa Jawi’ di Toko Buku Pelajar yang terletak di Jl. Gajah Mada agar aku pelajari sendiri.
#2
Secara umum, kebenaran itu bersifat relatif. Tergantung dari sudut pandang mana ia memandang, paradigma atau pisau analisa mana yang ia pakai. Sebuah kebenaran bisa diperdebatkan oleh banyak orang dari siang hingga tengah malam, tanpa henti. Selalu muncul tesis dan antitesia tak berujung, setidaknya itu menurut Karl Marx. Kata salah satu temanku, ‘tidak perlu statemenmu benar atau salah, yang paling penting sejauhmana kamu dapat memberikan argumentasi yang logis, terukur, dan dapat diterima oleh pandangan umum manusia. Termasuk dalam hal ini ketika menerka, lantas menganalisa, sosok dan kepribadian Sengkuni.
Secara umum, kebenaran itu bersifat relatif. Tergantung dari sudut pandang mana ia memandang, paradigma atau pisau analisa mana yang ia pakai. Sebuah kebenaran bisa diperdebatkan oleh banyak orang dari siang hingga tengah malam, tanpa henti.
#3
Sengkuni adalah contoh manusia biasa, sosok kakak yang baik. Ia telah berusaha semaksimal mungkin menuntut hak-hak adiknya, Gandari terhadap kezaliman Imperialisme Hastinapura yang mengakibatkannya menutup kedua mata dengan seutas tali seumur hidup. Sengkuni adalah tipikal paman ideal, sosok paman yang telah sukses mendudukkan keponakannya terhadap hak-hak politis, jabatan atas otokrasi Hastinapura. Sengkuni adalah ahli siasat perang yang ulung. Penasihat raja yang brilian. Ia bisa disejajarkan dengan Sun Tzu, Tao Zu Gong, Niccolo Machiavelli, Abraham Lincoln dan para maestro lainnya. Dalam posisinya sebagai dewan penasihat dan pertimbangan raja, ia tidak bisa disalahkan. Itu merupakan sebuah kewajiban. Hak paten yang tak bisa diubah. Karakter Sengkuni adalah salah satu jenis dari sekian variabel karakter yang terdapat dalam anak manusia. Termasuk di diri anda.
#4
Kesalahan sengkuni hanya satu. Tidak lebih. Ia tidak rajin menggosok gigi. Ia telah menyalahi anjuran dari Kementerian Kesehatan untuk menggosok gigi dua kali sehari. Akibatnya, bau busuk, anyir, yang keluar dari mulutnya mengganggu setiap lawan bicaranya. Membuat siapapun tidak nyaman, merasa terganggu. Dengan ini Sengkuni telah melanggar pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Itu setidaknya yang aku amati dari sosok Sengkuni dengan giginya yang penuh dengan guratan-guratan hitam. Sosok yang terekam dalam serial Mahabarata yang tayang dalam salah satu stasiun televisi swasta. Karakter tokoh yang telah diperankan oleh Praneet Bhatt dengan cukup baik.