Teras Rasa

Sandi Asma vis-a-vis Pujangga (sebuah interpretasi atas Serat Jaka Lodhang #4)

Adanya deretan narasi Sandi Asma Jaka Lodhang semakin meneguhkan dan mentahbiskan kapasitas sosok R. Ng. Ronggowarsito sebagai seorang pujangga ulung, pujangga ternama. Pujangga, demikian bunyi salah satu kata dalam Bahasa Indonesia. Dalam KBBI, Pujangga mempunyai definisi, Pengarang hasil-hasil sastra, baik puisi maupun prosa. Ahli pikir.

Istilah atau kata Pujangga adalah serapan dari Bahasa Sansekerta, Bujangga. Yang secara etimologi mempunyai arti seekor ular cobra. Istilah ini mengingatkan kami terhadap salah satu posisi gerakan (asana) dalam Yoga, Bhujang Asana (Posisi Cobra). Karenanya, dalam beberapa beberapa manuskrip kuno, tanda tangan R. Ng. Ronggowarsito mirip sekali bentuknya dengan gambar seekor ular cobra yang akan mematuk. A.A. Macdonell dalam ‘Sanskrit Dictionary Oxford’, mendefinisikan Bujangga dengan;

  1. Ular.
  2. Pengikut tetap seorang raja.

Sedangkan H.H. Juynbell, dalam ‘Oud Javansche Woordenlijst’  mendefinisikan Bujangga dengan

  1. Cendikiawan.
  2. Rohaniawan.

Dalam khazanah budaya dan tradisi Jawa, penyebutan seseorang sebagai Pujangga, harus memenuhi 8 kriteria dan kualifikasi yang relatif berat.R. Ng. Ronggowarsito sendiri telah menyebutkan 8 syarat tersebut beserta uraiannya dalam Serat Wirid Hidayat Jati;

  1. Paramasastra artinya ahli dalam hal sastra.
  2. Paramakawi artinya ahli dalam menggunakan Bahasa Kawi.
  3. Mardi Basa artinya pandai memainkan kata-kata dalam bahasa.
  4. Marawa Lagu artinya pandai dalm seni suara.
  5. Awicara artinya pandai bercerita.
  6. Mandraguna artinya mempuyai kepandaian lahir-batin semacam kesaktian.
  7. Nawungkrida artinya mempunyai pengetahuan lahir-batin serta arif bijaksana dan waskita.
  8. Sambegana artinya memiliki daya ingat yang kuat dan tajam.

Dari 8 kriteria tersebut, pasca R. Ng. Ronggowarsito wafat, tidak ada satupun sosok yang layak menyandang gelar sebagai Pujangga. Karena itu, R. Ng. Ronggowarsito dijuluki sebagai Pujangga terakhir Tanah Jawa. Setelah R. Ng. Ronggowarsito tidak ada lagi seorang Pujangga di saentero tanah Jawa, yang ada hanya seorang pengarang, seniman, atau paranormal.

Adalah Serat Jaka Lodhang berikut sandi asmanya, salah satu bukti yang menunjukkan bahwa pengarangnya adalah seorang Paramasastra, Paramakawi, Mardi Basa, Marawa Lagu, dan Awicara. Sampai-sampai seorang Ki Padmasusastra, maestro sastra Jawa ternama, murid langsung R. Ng. Ronggowarsito mengakui kepiawaian gurunya tersebut, ‘Beliau memang ahli sekali dalam hal memainkan kata-kata, sedap serta manis. Saya sebagai muridnya sangat mengagumi. Sulit untuk menyamai apalagi melebihi’. Adalah Serat Jaka Lodhang berikut sandi asmanya pula yang menunjukkan bahwa pengarangnya adalah sosok yang boleh dikategorikan Mandraguna, Nawungkrida, dan Sambegana. Semua itu terbukti dengan masih relavan dan kontekstual—substansi, nilai-nilai, esensi dan spirit yang tersirat dalam serat Jaka Lodhang jika diaktualisasikan pada era R. Ng. Ronggowarsito sampai era sekarang dan yang akan datang.

Kembali kepada Sandi Asma Jaka Lodhang, sebuah narasi dengan keindahan bahasa yang kompleks—dirangkai sedemikian rupa dengan beberapa rahasia yang tersirat di dalamnya. Terdorong dengan ‘sulitnya’ memberi interpretasi atas sandi asmo tersebut—salah satu penafsir Serat Jaka Lodhang, R. Rg. Sastrasadarga berkomentar, ‘Seperti apa maksud sebenarnya dari penulis sandi asma, apakah sebuah satire terhadap otoritas para penguasa terhadap rakyatnya, terhitung sejak naik tahtanya Sinuwun Paku Buwono I sampai Sinuwun Paku Buwono X ?Ataukah sebuah simbolisme akan datangnya sebuah masa yang belum atau telah terlampaui, seperti pada umumnya sebuah jangka (prediksi)? Disini kami belum bisa memastikan. Hanya berusaha sedikit mengkomparasikan dengan isi teks Jaka Lodhang, serta beberapa peristiwa zaman yang telah terjadi. Jadi, hanya sekadar meraba-raba. Sedangkan orang yang meraba-raba belum tentu meraih atau sesuai dengan apa yang dimaksud penulis sandi asma tersebut. Terkadang pemahaman seorang ahli sastra sekalipun masih terkesan berspekulasi’.

Namun, sekali lagi. Sesulit apapun struktur bahasa yang terkandung Sandi Asma Jaka Lodhang, tugas kita sebagai pewaris peradaban—wisdom para pendahulu hendaknya di interpretasikan semaksimal mungkin menggunakan perspektif ilmiah, logis, tanpa meninggalkan etika dan budaya ketimuran. Selangkah lebih maju, jika diejawantahkan spiritnya dalam paradigma berfikir, lantas diaktualisasikan dalam bentuk aksi-aksi nyata. Dengan begitu, kekayaan khazanah spirit Jawa tidak menjadi ‘artefak purba’ yang ditinggalkan begitu saja oleh generasi Z karena dianggap bagian dari sebuah ‘mitos’ yang amat pengap, sehingga layak untuk diabaikan. Dus, semoga saja tidak.


Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *