Teras Rasa

Sandi Asma: Artikulasi kegelisahan ditengah absurditas dan ketidakpastian hidup (sebuah interpretasi atas Serat Jaka Lodhang #5)

Kegelisahan yang datang secara tiba-tiba, lantas menimpa, masuk ke dalam ruang sanubari Sang Pujangga (R. Ng Ronggowarsito). Seperti dalam ungkapan sehari-hari orang Jawa, ‘Mak-Jleg’. RONGeh jleg tumiBA. Kalimat ini perlahan mengekspose narasi sandi asma sebagai intro dari Serat Jaka Lodhang. Di tengah derasnya tekanan dan arus kehidupan yang terus berputar, manusia dengan segala kelemahannya dapat terseret, terombang-ambing dalam derap-derap kegelisahan yang tak berujung. Kegelisahan semacam ini bisa datang kapanpun, layaknya sebuah badai—tiba-tiba menghantam, tanpa ada peringatan, dan tanpa suatu kejelasan tujuan. Dan dalam kegelisahan itu, apakah manusia bisa menemukan arti, atau hanya hampa?

Sandi Asma telah menawarkan pola pendekatan,―berikut perenungan tentang arti roda kehidupan (jantraning ngaurip). Bahwa dalam menjalani rutinitas sehari-hari sering kali makna kehidupan tercerabut, sementara manusia terus mencari arti dalam chaos dunia dengan tetap bersikap sewenang-wenang terhadap sesamanya.

Senada dengan yang diungkapkan oleh Martin Heidegger dan beberapa filsuf eksistensialisme lainnya, yang berpendapat bahwa manusia telah mengalami “Geworfenheit”, terlempar ke dunia tanpa persetujuan dengan mereka sebelumnya, lantas harus menghadapi rona-rona dunia dengan segala keterbatasan dan ketidakpastian yang melakat pada dirinya—termasuk dengan sebuah Kegelisahan. Pada gilirannya manusia sebagai obyek Tuhan hanya bisa pasrah, menerima, sembari memohon pertolonganNya.

RONGeh jleg tumiBA” (kegelisahan mendadak datang menimpa) mencerminkan kegelisahan yang datang secara tiba-tiba dalam hati dan pemikiran Sang Pujangga, sosok yang telah dianugerahi “waskita” dalam pancaran hatinya. Kalimat ini merupakan refleksinya yang mendalam atas tanda-tanda perubahan zaman (owah gingsiring zaman), pergeseran budaya dan kondisi tatanan sosial yang tersungkur dalam jurang kegelisahan dan kebingungan. Bagi sufi Agung seperti R. Ng. Ronggowarsito, kegelisahan tidak selamanya buruk. Kegelisahan bisa jadi merupakan mekanisme Allah dalam menyapa hambaNya, juga sebagai peringatan (tadzakkur) agar manusia semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas kontemplasinya (dzikr) kepada Allah.

“Gagaran santoSA” (pegangan kuat), mempunyai arti harapan akan datangnya sebuah ketenangan. Masa nan gemilang. Tata tentrem kerta raharja. Namun, lagi-lagi seperti ironi dalam sirkus kehidupan, ketenangan sejati yang dipegang erat sering kali tidak pernah benar-benar datang. Hidup ini penuh dengan berbagai variabel fatamorgana yang tampak indah dan dekat, tetapi pada akhirnya tak pernah benar-benar dapat diraih. Maka kesadaran terhadap Yang Hidup adalah jalan signifikan dalam meraih ketenangan.  

WARtane meh teKA” (beritanya hampir tiba)—namun berita itu hanya ‘hampir’, selalu tak sampai. Harapan akan sebuah kepastian, entah itu dalam hidup, pekerjaan, atau relasi, seolah selalu terjebak dalam berbagai bayang-bayang janji yang tak terpenuhi. Semua hanya mengejar bayang-bayang semu, bukan kesejatian. Kegelisahan dalam sandi asma, lebih dari sekadar gejolak batin. Ia adalah berita, sasmita saking Pengeran.

“SIkara karoDA” (kesewenangan yang bergejolak),  menggambarkan kesewenangan, dipadu dengan kerakusan, loba, dan elemen-elemen negatif lainnya yang bergejolak dalam panggung kehidupan. Tragedi yang telah memaksa manusia untuk terus berjuang tanpa arah yang jelas. Ini adalah deskripsi tentang nasib manusia yang harus bertahan di dunia yang tak peduli dengan kebutuhannya akan makna. Walhasil, tatanan manusia dalam sandi ini, digambarkan terjebak di antara keberadaan yang penuh ketidakpastian, namun terus mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan.

Tetapi bagaimana cara merespons kesewenangan ini? Ada dua pilihan, menerima sembari terus berupaya melakukan yang terbaik dan memanjatkan doa kepadaNya, atau memberontak—seperti ungkapan Wiji Thukul, “Hanya ada satu kata, Lawan!”

TAtage tan kaTON (ketabahannya tak terlihat). Ketika kesewenangan berada di ambang batas, mendominasi—ketabahan dalam menyikapi fenomena tersebut seakan tertutup, absurd, dan tak terlihat.

BArang-barang ngeRONG—(semuanya pada bersembunyi). Dalam kondisi demikian, hendak melawan tak punya kekuatan. Maka kesabaran dan ketabahan bukanlah semacam partikel yang dapat dilihat secara langsung. Itu adalah partikel yang tersembunyi, seperti makna yang terus-menerus kita cari dalam hidup. Sebagai manusia modern, kita dapat memilih untuk tetap bertahan di tengah berbagai kekacauan ini, tanpa mengharapkan kejelasan yang pasti, seperti dikatakan oleh Sang Pujangga dalam Serat Kalatidha, iling lan waspada.

Lantas akan timbul sebuah pertanyaan, apakah bertahan adalah jawaban, atau sekadar tanda bahwa kita telah menerima absurditas hidup ini?

SAguh tanpa raGA”(sanggup tanpa raga)— Ungkapan ini menggambarkan suatu kondisi di mana manusia mampu berjuang tanpa kehadiran fisik. Ini adalah simbolisasi kematian, namun juga suatu realisasi sebuah kebebasan. Di era yang semakin absurd, di mana makna sering kali tidak ada, kebebasan muncul ketika manusia dapat melepaskan diri dari kebutuhan akan kepastian, bahkan dari keterikatan pada tubuh. Dalam perspektif Tasawuf dikenal dengan istilah ‘Fana’. Namun, di sini timbul sebuah ironi lain: kebebasan ini juga terbatas oleh keadaan. Sebagai seonggok daging yang ditiupkan ruhNya, manusia bisa mati, tetapi kesewenangan yang tak terkendali masih terus berlanjut, menghantam dan menghancurkan peradaban manusia.

KAtali kawaWAR—(terbelenggu, namun hancur berkeping) Sebagai wayang, manusia tak bisa sepenuhnya bebas dari berbagai beban kehidupan. Dus, manusia harus bisa menemukan kekuatan untuk terus bergerak. Adaptif dan selalu posotif Thinking, lebih-lebih positif Feeling pada setiap sendi kehidupan. Karena rahmatNya selalu menaungi. Pada level tertentu, manusia tak penting lagi mencari arti yang sempurna, karena tahu arti itu tak pernah benar-benar ada. Hidup telah membentuk pola keterikatan yang konstan, bahkan dalam kehancuran sekalipun.

Meskipun kesewenangan telah mendominasi, ia akan berujung dengan kehancuran. Hancur yang berkeping-keping. Karena kejahatan sekuat apapun pasti akan runtuh. Sejarah peradaban manusia telah mencatatnya. Dunia akan terus berjalan tanpa perlu mempertimbangkan kebutuhan manusia akan makna.

“DAdal amekaSI”—(bedah tak bersisa) Adalah fakta bahwa ketika manusia telah berupaya untuk membedah berbagai fenomena hidup ini, meraih semua jenis ekspektasi, hanya akan dipertemukan dengan rasa hampa yang tak berujung. Pada akhirnya tidak bisa melawan ketetapanNya, seperti dalam kutipan Al-Hikam, Kemauan yang keras tidak akan bisa menerobos pintu takdir. Maka sikap eling dan waspada menjadi solusi utama yang ditawarkan oleh Sang Pujangga.

Pada akhirnya, sandi ini ditutup dengan narasi pamungkas,

TONda murang taTA—(sebuah tanda melawan ketidakberaturan dan angkara murka). Ini adalah seruan untuk selalu melawan ketidakadilan, kesewenangan dan absurditas yang tak terhindarkan. Manusia tahu bahwa di dunia ini sering terjadi ketidakadilan dan penuh dengan kekacauan, namun harus tetap berusaha melawan dengan berbagai prosedur (syariat) dan nilai-nilai yang utama (akhlaq).

Dus, manusia terus mencari kepuasan di tengah kehidupan yang tak teratur, meskipun akhirnya yang ditemukan hanyalah rasa dahaga. Sandi Asma mengajarkan bahwa kita bisa melawan absurditas kehidupan, tidak dengan mencari idealisme yang sempurna, tapi dengan terus hidup, bertahan di tengah berbagai kekacauan.

Walhasil, Sandi asma berupaya mengungkapkan paradoks mendasar atas kehidupan manusia. Kegelisahan yang datang mendadak, menimpa, bukanlah sesuatu yang bisa dihindari, tetapi sesuatu yang harus diterima sebagai bagian dari kebera-ada-an. Dan manusia, sebagai wakil Tuhan di muka bumi (Khalifatullah fi al-Ardh), juga agent of change, selalu dihadapkan 2 pilihan, tenggelam dalam arus absurditas, atau melawan, meski tahu bahwa perlawanan itu mungkin tak pernah membawa pada sebuah kepastian. Demikian.

Dan manusia, sebagai wakil Tuhan di muka bumi (Khalifatullah fi al-Ardh), juga agent of change, selalu dihadapkan 2 pilihan, tenggelam dalam arus absurditas, atau melawan, meski tahu bahwa perlawanan itu mungkin tak pernah membawa pada sebuah kepastian.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *