Teras Rasa

Kesadaran dan Sudut-sudut Imajinasi

Dalam limpatan masa yang pengap, Udin duduk diatas kursi cahaya imajinasi.
Ia melukis gerimis bulan Desember disela-sela udara dingin bulan purnama
Sembari merangkai narasi tanpa subjek, “Tuhan, kemana engkau pergi?”
Mungkinkah ini simulasi yang tak berujung?

Kehilangan―Kata ini pernah terukir dalam prasasti dan reruntuhan peradaban.
Dilipat angin dan waktu, diantara rindu yang kehilangan tangga.
Udin membuka jendela kata, menyebut nama Tuhan yang tak terbilang, tak tercatat.
Dan perlahan, derap-derap dzikir menjadi bongkahan batu membentur cadas ke-aku-an.

Kehilangan telah menghapus bayang-bayang.
Keyakinan adalah api.
Keteguhan adalah suluh.
Doa adalah air yang menguap―menjadi tetesan air mata.
Waktu berjalan, berkelindan melampaui pernak-pernik metafora.

Pagi menjelang, Udin mengeja di pendar-pendar cahaya di ufuk timur.
Bukan ayat-ayat yang menjelma dalam udara atau munajat yang telah rapuh.
Hanya isyarat beku yang sengkarut dalam setiap gesekan daun.
“Kehilangan adalah ruang”
“Seperti kotak kosong, menunggu penuh butiran makna”
Dunia mendadak hening.
Hiruk pikuk terhapus sepi.
Isyarat terus menggema di relung-relung dada, samudera jiwa.
“Tuhan tidak pergi”
“Kehilangan bukan akhir”
“Kehilangan tempat Tuhan menyelinap, untuk mengajari hambaNya”
“MenyapaNya tidak selalu dengan doa yang gaduh”
“Tuhan berada di hati yang lapang”
Udin disergap oleh partikel-partikel kesadaran.
Allahuakbar!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *