Jatuh tempo pilkada serentak semakin dekat―sedekat Tugu Monas dengan Pasar Tanah Abang. Seperti biasa, foto calon walikota, bupati, dan gubernur menghiasi tiap-tiap sudut kota. Wajah penuh senyum tersimpul, seolah mereka telah ‘ngeh’ dengan realitas yang terjadi di balik pintu-pintu rumah penduduk. Di perempatan jalan, menggantung di batang pohon, di pintu masuk pasar―wajah-wajah ceria itu sarat narasi sebuah janji suci. Di sinilah, manusia diperlakukan sebagai objek dan voters untuk diajak terpesona sebentar oleh berbagai teatrikal politik yang terkadang membuat kepala pening seketika. Terlalu sering hal ini terjadi, bahkan terlalu familiar―terutama bagi mereka yang bosan hidup di bawah bayang-bayang sebuah janji yang tak pernah dipenuhi. Janji adalah janji. Narasi suara yang menembus sepi, yang makin lama terasa hampa.
Visi-misi, janji-janji, program unggulan, hingga prediksi kemenangan—semua terdengar lantang. Begitu bising, samar, hingga tak bisa lagi dibedakan mana yang sungguh-sungguh, dan mana yang sekadar penanda kekuasaan. Para calon berbicara tentang kesejahteraan petani, nasib tukang becak, fasilitas kesehatan bagi rakyat kecil. Kata-kata yang muluk-muluk, kata-kata yang berusaha menyulap mimpi menjadi kenyataan, padahal hanya repetisi dari yang sudah-sudah. Mulut-mulut berbusa, begitu banyak bicara, sedikit berbuat. Kita sudah tahu ini semua, bukan? Bahkan kita telah hafal dengan narasi-narasi itu―karena cenderung stagnan, hanya wajah-wajah yang silih berganti.
Dan strategi perang gerilya ala Sun Tzu dimulai. Pasukan dari setiap calon menyebar, lantas mengetuk pintu-pintu. Menyapa setiap sudut kota, dengan janji dan tangan terbuka. Dus, senyum-senyum bertebaran, menyiratkan harapan yang seolah-olah tulus. Tapi kita tahu, bukan? Kita tahu bahwa senyum itu tak lebih dari sebuah topeng, a mask tells us more than a face. Wajah-wajah itu jauh dari definisi kekurangan, apalagi halusinasi kemiskinan yang kerap menghantui mayoritas penduduk negeri ini. Tekstur tangan yang halus itu bersentuhan dengan tangan kasar rakyat jelata, seolah ingin menyatu dalam penderitaan yang sebenarnya tidak pernah mereka pahami. Well, di balik jabat tangan itu, terselip buah tangan yang selalu menyusul—sebuah budaya yang sudah mengakar begitu dalam, bukan start up perusahan yang baru berkembang belakangan. Jabat tangan, buah tangan, dan berakhir di jabatan. Di sinilah instrument panggung politik dimainkan, di kolong langit yang seakan diam menyaksikan lakon yang berputar berulang kali.
Jika ditarik lebih dalam dengan pisau epistemologi, jabat tangan mempunyai lapisan makna. Ia bukan perkara formal, sekadar persentuhan kulit dengan kulit. Di satu sisi, ia adalah usaha untuk mencuri simpati, menggiring image dan kepercayaan rakyat, bahwa ada interkonektivitas antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Di sisi lain, ia adalah gerbang labirin transaksi yang jauh lebih besar. Sebuah buah tangan yang tampak kecil—uang receh, sembako, kaos kampanye, atau poster—menjadi alat tukar demi simpati. Lebih dari itu, ada jabat tangan dengan mereka yang duduk di atas, upeti bagi pemimpin partai yang menentukan nasib di belakang layar. There’s no such thing as a free lunch, You scratch my back, and I’ll scratch yours. Partai-partai pengemis. Istilah yang menggiring ingatan terhadap dunia persilatan (kang ouw) ala Khoo Ping Hoo, di mana kekuasaan telah menjadi piala yang selalu diperebutkan.
Semuanya terhenti pada uang, angka-angka yang besar, nol-nol yang melayang di atas kertas cek. Jabat tangan hanya melahirkan surat rekomendasi, jabatan, bahkan masa depan. Di balik setiap janji, ada nilai transaksi yang tersembunyi. Mereka yang memiliki uang sama dengan yang berkuasa, yang memahami pola permainan ini―semuanya ada di sana, di balik tirai. Ini bukan soal siapa yang terbaik, ini soal siapa yang mampu memberi lebih banyak. Uang yang dibawa untuk membayar saksi, mencetak alat peraga, menutupi biaya kampanye, semuanya sudah diatur dengan rapi. Kontrak dan perjanjian diteken, saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme. Rodliyatan Mardliyah, atau apalah namanya. Di sinilah panggung politik menjadi panggung permainan, panggung sandiwara, bukan untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang berkuasa.
Di ujung kisah semuanya, tetaplah jabat tangan menjadi sebuah prioritas. Tangan-tangan dijabat. Yang lembut hatta yang kasar, disertai senyum tersungging. Dan pesona pun ditebar. Buah tangan diberikan. Yang kecil, yang besar, yang remeh, yang biasa, yang mencengangkan bahkan yang fantastis sekalipun. Pada gilirannya, tak ada yang benar-benar berubah―Usaha manusia berakhir pada ujung garis nasib. Dan benarlah ungkapan Ibnu Athaillah as-Sakandari, bahwa keinginan yang kuat pun tak mampu menembus batas takdir. Atau bahkan, mereka yang percaya pada jabat tangan dan buah tangan sebagai kunci sukses mungkin belum atau tidak pernah membaca dengan cermat garis tangan mereka sendiri? It’s all Greek to me.
Apakah benar jabat tangan dan buah tangan telah menentukan segalanya? Mungkin, mungkin tidak, mungkin iya. Pada akhirnya, dua komponen tersebut hanyalah bagian tipis dari garis hidup yang telah tertulis. Siapa yang bisa melawan takdir? hanya sekadar berusaha, tapi hasil akhir tetap berada di luar kendali kita―seperti kata Epiktetos, There are things which are within our power, and there are things which are beyond our power. Demikian.