Teras Rasa

Antara Batu-Mojokerto yang dekat dimata, jauh di hati, jauh dari silaturrahmi (Improvisasi untuk NU yang lebih kreatif, antisipatif dan adaptif)

Kawasan kaki Arjuna-Welirang menjajikan kawasan hijau yang subur dan indah. Pacet dan Batu adalah dua nama tempat yang tak tepisahkan dari kata indah, sejuk, serta subur. Sehingga, suasana iklim, mata pencaharian, dan tipologi sosial terdapat banyak kesamaan. Sedikit yang membedakan dan tidak kentara, adalah tingkat kompleksitas sosial akibat perkembangan di masing-masing lokasi.

Sejak dahulu, sebelum ada jalur kendaraan yang menghubungkan antara kawasan di lereng atau kaki gunung Welirang, dari Batu sampai Pacet telah ada jalur tradisional lewat jalan setapak yang biasa di akses oleh masyarakat. Bahkan dari cerita orang tua, ketika Pacet mendapat serangan dari Belanda, masyarakat pacet banyak yang mengungsi ke kawasan Batu. Kedekatan itu terbukti juga dengan beberapa keluarga di Pacet yang mempunyai kedekatan dengan beberapa warga Batu bagian utara, misalnya melalui hubungan pernikahan atau perdagangan.

Berbagai jenis komoditas pertanian yang sejak dahulu sudah dikenal dari Batu dan di bawa oleh para pedagang ke Pacet atau sebaliknya. Misalnya, umbi-umbian dan ketela rambat telah menjadi  komoditas pacet yang merambah batu. Apalagi saat ini Pacet sudah berdiri pasar sayur yang sebagian besar pedagangnya dari Batu. Tiap hari mereka lalu lalang Batu Pacet. Kripik umbi-umbian pacet juga menyerbu kawasan wisata Batu. Hal ini semakin membuktikan kedekatan emosional antar kedua wilayah tersebut.

Dilain kesempatan, apabila ada festival kesenian rakyat, misalnya, Bantengan di Batu, duta dari Pacet bisa dipastikan kehadirannya. Begitu juga sebaliknya. Para pedagang dan aktivis seni tradisional menyadari betul kemiripan culture dan saling melengkapi antara dua kawasan besar ini.

Sebagai aktivis NU, saya menyadari potensi ini. Kemiripan jama’ah, dari lokasi sampai pada mata pencahariannya. Bahkan apabila dilanjutkan, pada kompleksitas permasalahan sosialnya, jamaahnya hampir sama.

Tapi Jam’iyah maupun jama’ah NU, tampaknya belum peka, belum terkuak “hidayah”  dengan potensi-potensi yang telah berkembang pada masa lalu, dan terus berkembang pada saat ini dan yang akan datang. Ada banyak sekian faktor yang bisa menyatukan, mensinergikan, juga saling melengkapi satu sama lain. Jarak yang dekat, situasi  lingkungan alam, sosial yang tidak jauh beda, hampir tidak terasakan. Dekat dimata, jauh di hati, jauh dari silaturrahmi.

Apalagi pada saat ini ketika ada beberapa hal yang membuat dinamika jam’iyah atau organisasi mengalami proses “abad pendewasaan” ke 2 setelah 1 abad dari awal berdirinya terlampaui. Butuh out of the box, kreatifitas yang luar biasa untuk NU yang adaptif dan terus dinamis memasuki abad yang tumbuh dan berkembang sangat cepat ini.

Seperti pada saat ini, ketika PCNU Mojokerto sedang “jeda” karena sudah beberapa bulan pasca konferensi Cabangnya, kepengurusan belum juga terbentuk, terindikasi dengan SK yang mungkin belum turun, sehingga pelantikan sebagai dasar awal berjalannya kepengurusan yang baru, belum terlaksana, maka MWC di bawahnya, seperti mwc Pacet bisa berimprovisasi dengan bekerja sama dengan MWC lain yang bisa jadi setype. MWC Bumiaji misalnya, atau mencari “ bapak angkat dulu” ke PCNU Batu, biar tidak merasa “sendiri” dan melalui proses pendewasaan ini untuk lebih tangguh dan gaul (adaptif) serta banyak jaringan di masa akan datang.

Kedua kawasan ini dalam kepariwisataan juga mengalami hal yang sama. Pada era 90-an di kawasan Songgoriti telah berkembang sebagai lokasi persewaan rumah-rumah hunian sementara (villa) dengan segenap aspek negatifnya. Dan10 tahun tercopy paste di kawasan Pacet selatan. Andaikan era 90-an itu sudah terdapat kerjasama antara struktural NU Batu dan Mojokerto selatan, mungkin embrio-embrio Songgoriti dan Pacet dapat terantisipasi.

Kita bisa belajar tentang persiapan untuk adaptif dan antisipatif dengan sektor wisata yang bergerak cepat, kawasan Batu yang lebih cepat berkembangnya, sehingga Mojokerto selatan tidak ketinggalan sisi positifnya. Namun, dampak negatifnya juga terantisipasi. Dari kedua kawasan ini pasti ada sisi yang bisa salin melengkapi satu sama lain untuk selalu lebih baik dari sebelumnya, saling bekerjasama saling belajar. 2 varian kunci untuk perjalanan ke depan yang lebih baik.

Bahkan Batu dan Pacet, Mojokerto selatan bisa menjadi role model bentuk kerjasama kawasan sejenis. Bila ada kata sister city, kita bisa buat sister MWC, atau sister PC. Karena model seperti ini tidak ada alasan formal dalam aturan organisasi, tapi kita butuhkan untuk ice breaker, pemecah kebuntuan dan bentuk improvisasi pelaksanaan program, bahkan bisa berkembang ke pembentukan Kaukus (teringat istilah era Orba di Golkar kaukus iramasuka yang diinisiasi politikusnya,  AA Baramuli).

Alhasil, kedepannya kita bisa membentuk kaukus baru di internal NU, kaukus Arjuna Welirang. Dengan harapan untuk kerjasama MWC se-type atau mengiris PCNU yang ada di lereng kedua gunung tersebut, Batu utara, Mojokerto selatan, Malang utara dan Pasuruan barat. Dengan demikian, kemajuan NU secara organisatoris dapat dirasakan manfaatnya oleh umat. Semoga.

3 komentar untuk “Antara Batu-Mojokerto yang dekat dimata, jauh di hati, jauh dari silaturrahmi (Improvisasi untuk NU yang lebih kreatif, antisipatif dan adaptif)”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *