Tentang berbagai individu di kolong langit, memiliki variasi karakter, kepribadian, dan pola pikir yang beragam. Secara fisik, hal itu bisa ditengarai dengan bentuk dan pola sidik jari yang berbeda antara satu individu dengan individu lain. Begitu juga dengan sebuah karya tulis. Sebagai seorang Pujangga, R. Ng. Ronggowarsito memiliki ciri-ciri, diksi, majas, penggunaan bahasa, apalagi sebuah rasa tersendiri dalam beberapa karyanya. Beberapa komponen tersebut yang membedakan dengan beberapa penulis lain. Salah satu ciri karya R. Ng Ronggowarsito adalah penggunaan ‘Sandi Asma’ yang terselip dalam deretan narasinya.
Dirdjosiswojo, dalam ‘Sandi-Asma lan Wangsalan’ mendefinisikan terminologi Sandi Asma, “Sandi asma iku têgêse asma kang sinandi utawa asma kang didhêlikake (digawe wadi)” (Sandi Asma itu maksudnya adalah nama yang berbentuk sebuah sandi. Atau sebuah nama yang disembunyikan, di buat serahasia mungkin). Lebih lanjut, Kepala Inspeksi S.R. Kabupaten Klaten tersebut menjelaskan penggunaan Sandi Asma dan aturan penggunaannya dalam sebuah karya sastra, “Lumrahe sandi asma iku dumunung ana ing têmbang, yaiku asmane kang ngarang dipisah-pisah wandane, sinamur ana ing gatraning têmbang. Sandi asma iku lumrahe dumunung ing pada wiwitaning carita utawa ana têmbang kang wêkasan dhewe, ana uga kang dumunung ana têngah-têngahing carita, nanging iku arang-arang kang tumindak.” (Secara umum Sandi Asma itu terletak di sebuah tembang, yaitu nama pengarang yang dipisah-pisah suku kata nya, terselip di dalam deretan lirik tembang. Biasanya Sandi Asma terletak di permulan cerita atau bagian akhir dari tembang. Atau bisa juga terletak di tengah-tengah cerita, namun hal ini jarang dilakukan oleh beberapa pujangga).
Untuk mengawali Serat Jaka Lodhang, R. Ng Ronggowarsito memberikan deretan narasi yang bermuatan Sandi Asma. Susunan dan komponen narasi tersebut berbeda dengan tiga jenis pupuh macapat yang kemudian akan ditulisnya. Jika pupuh macapat mempunyai aturan tersendiri terkait, guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan, tidak demikian halnya dengan narasi ini. Narasi ini tidak mempunyai kaidah baku. Hanya terselip nama sang penulis di awal dan akhir struktur kalimat. Dalam beberapa versi terbitan naskah Serat Jaka Lodhang,narasi khas R. Ng Ronggowarsito tersebut dilabeli dengan istilah ‘Sandi Asma Jaka Lodhang’.
Bunyi Sandi Asma berikut nama Sang Pujangga yang terselip adalah:
ROnggh jleg tumiBA
GAgaran santoSA
WARtane meh teKA
SIkara karoDA
TAtage tan kaTON
BArang-barang ngeRONG
SAguh tanpa raGA
KAtali kataWAR
DAdal amekaSI
TANnda murang taTA
Jika fonem awal dan akhir dari narasi sandi asma itu dipisah, lantas dibaca dari atas ke bawah, maka akan terbentuk susunan kalimat, “Ronggowarsito Basa Kadatan, Basa Kadaton Ronggowarsito” (Ronggowarsito Bahasa Keraton, Basa Keraton Ronggowarsito). Secara ekplisit, teks itu mengatakan bahwa dalam karya sastra berikut, Sang Pujangga akan menggunakan Bahasa Keraton, Bahasa Istana. Bukan bahasa rakyat kebanyakan. Bahasa yang menggunakan kaidah dan strata tertentu, seperti Krama Inggil dan Krama Andhap yang kemudian dirangkai dengan beberapa kata dalam Bahasa Kawi dan Bahasa Sastra. Sebuah struktur dan komponen yang tidak dimiliki rakyat kebanyakan (sudra).
Pada era feodalisme, semua unsur-unsur pengetahuan, peradaban, agama, dan budaya terpusat di Keraton (Kerajaan) sebagai pemegang kendali. Rakyat hanya bisa mengakses beberapa komponen tersebut secara terbatas. Semisal di surau-surau, pondok pesantren, atau berguru kepada para sesepuh dengan cara nyantrik. Karena itu, Serat Jaka Lodhang lebih ditujukan kepada para bangsawan, priyayi, kaum ningrat, cendikiawan, ulama, dan secara umum kepada masyarakat luas. Boleh dibilang Serat Jaka Lodhang merupakan otokritik Sang Pujangga terhadap tindakan dan moralitas beberapa oknum mereka (ulama dan bangsawan) yang kurang pas menurut standart etika masa itu. Demikian.