Teras Rasa

To Introduction (sebuah interpretasi atas Serat Jaka Lodhang #1)

Allah yang mempunyai nama suci Al-Hadiy (The Guide) telah berfirman kepada avatar Agung, Nabi Muhammad Saw, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan jalan ketakwaan”. Firman ini telah tertulis, terdokumentasikan, terkodifikasi dalam bentuk lembaran teks-teks suci (mushaf), dan juga telah termanifestasikan dalam lanskap alam semesta dalam wujud ayat kauniyah-Nya. Kitab Teles dan Kitab Garing, begitu idiom leluhur orang Jawa dalam memberikan terminologi atas dua macam firman Tuhan, dimana keduanya bersifat loro ning atunggal (dua, akan tetapi hakikatnya adalah satu). 

Salah satu dari semesta ilham itu adalah gagasan tentang bentuk ideal tata kelola kehidupan manusia. Tentang futuristik, sebuah idealisme, cita-cita luhur, dan harapan indah kehidupan manusia dimasa-masa mendatang. Seperti halnya narasi dan jargon dari sebuah negara yang berbunyi, Mensejahterakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

Terdapat adagium, bahwa manusia adalah agen perubahan (agent of change). Dus, satu-satunya makhluk di muka bumi yang telah diberi beberapa potensi dasar untuk mengemban misi sebagai Khalifatullah. Pengejewantahan berikut tajalli dari sifat-sifat Allah di muka bumi. Namun apadaya, manusia adalah manusia. ‘Seonggok daging’ yang telah telah ditiupkan ruh-Nya, ke dalam jasad. Kadangkala naluri dan sifat sebagai ‘seonggok daging’ lebih dominan, lantas berusaha untuk merampas benih-benih kesadaran, pemikiran, dan berujung dengan berbagai macam aksi dan tindakan yang merusak kestabilan alam semesta. Namun dilain waktu, naluri dan sifat ‘ruh yang ditiupkan’ bisa lebih dominan, dan mempengaruhi segenap potensi akal, hati, serta rasa terdalam dalam diri manusia. Itulah manusia yang kerap disebut dengan istilah orang yang beriman (mukmin).

manusia adalah manusia. ‘Seonggok daging’ yang telah telah ditiupkan ruh-Nya, ke dalam jasad. Kadangkala naluri dan sifat sebagai ‘seonggok daging’ lebih dominan, lantas berusaha untuk merampas benih-benih kesadaran, pemikiran, dan berujung dengan berbagai macam aksi dan tindakan yang merusak kestabilan alam semesta. Namun dilain waktu, naluri dan sifat ‘ruh yang ditiupkan’ bisa lebih dominan, dan mempengaruhi segenap potensi akal, hati, serta rasa terdalam dalam diri manusia. Itulah manusia yang kerap disebut dengan istilah orang yang beriman (mukmin).

Ketika tata kelola kehidupan manusia menuju jurang kehancuran, disharmoni, dan jauh dari nilai-nilai kebenaran, Allah Tuhan alam semesta selalu memberi ilham dan mengutus salah-satu hambaNya di setiap masa, di setiap tempat, sebagai agent of change. Merekalah yang disebut dalam berbagai tradisi suci sebagai para Nabi dan Rasul. Pun ketika ilham kenabian berakhir kepada Nabi Agung Muhammad, Allah dengan sifat Rahman Rahim-Nya tidak pernah berhenti untuk memberikan ilham-Nya yang suci kepada setiap hamba-Nya yang terpilih. Seperti dalam sabda Nabi Agung Muhammad, “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini, atas pangkal tiap-tiap seratus tahun, orang yang akan memperbarui bagi mereka urusan agama mereka”. Selalu ada mujadid, para Bijak, Avatar, Sufi, Yogi, Maharesi, Santo, Pujangga, Filsuf, atau Cendikiawan dalam setiap masa, atau setidaknya dalam kurun seratus tahun.

Dalam tradisi Hindu juga terdapat statemen yang memiliki kesamaan esensi, ucapan Sri Khrisna dalam Bhagavad Gita 4:7-8, 

Yada-yada hi dharmasya, Glanir bhavati Bharata, Abhyutthanam adharmasya, Tada ‘tmanam srjamy aham. (Ketika kebenaran mulai sirna dan kejahatan merajalela, O Arjuna, aku akan mengutus diri-Ku sendiri)

Paritranaya sadhunam, Vinasaya ca duskrtam, Dharmasamsthapanarthaya, Sambhavami yuge-yuge. (Demi melindungi kebaikan, menghancurkan yang jahat, dan demi penegakan kebenaran, aku terlahir ke dunia dari abad ke abad)

Pada intinya, spirit dan nilai-nilai kebaikan sebagai perwujudan bentuk Sri Khrisna akan selalu mengejawantah dan bermanifestasi dalam setiap masa, setiap abad, mengikuti alur pergeseran budaya yang terjadi setiap abad.

Dan mereka penerima spirit, nilai-nilai, adalah golongan minoritas yang selalu resah dan gelisah ketika melihat kondisi sosial yang carut-marut dan jauh dari nilai-nilai kebenaran. Selanjutnya mereka melakukan kontemplasi, perenungan dan berbuah pemikiran yang cemerlang tentang tata kelola kehidupan manusia yang lebih baik dimasa-masa sekarang dan yang akan datang.

Ilham dari Tuhan bukanlah barang jadi yang bisa turun dari langit secara tiba-tiba. Ilham itu turun melalui serangkaian proses perenungan dan kontemplasi serta melalui beberapa tahapan. Seorang Cendekiawan Muslim bernama Quraish Shihab pernah mengatakan dalam salah satu karya tulisnya, “Petunjuk-Nya bermacam-macam, sesuai dengan peranan yang diharapkannya dari makhluk. Manusia dikaruniai petunjuk bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Tingkat kedua tidak dapat diperoleh sebelum tingkat pertama. Demikian pula tingkat ketiga, sebelum tingkat kedua dan seterusnya”. Sebagai sebuah entitas, ilham telah berdialektika dengan kondisi psikologis, kejiwaan, naluri, serta potensi spiritual sang penerima ilham. Karenanya, ilham tunggal dari Tuhan bermanifestasi menjadi dua yang kemudian saling bertolak belakang satu sama lain, fujuroha wa taqwaha.

Selanjutnya, Ilham, inspirasi, gagasan atau pemikiran tersebut juga sangat variabel bentuknya antara satu pemikir dengan pemikir lain. Mereka memiliki idiom-idiom tersendiri. Pangeran Sidharta Gautama menyebut gagasan idealnya dengan istilah Buddha, sosok manusia ideal yang hidup dengan penuh kesadaran serta telah terbebas dari suka maupun duka. Dan Syaikh Abdul Karim Al-Jilli menyebut manusia idealnya dengan istilah Insan Kamil (Manusia Paripurna), manusia yang mengerti akan kesejatian haqiqatul Muhammadiyah dan menjadi Tajalli (manifestasi)Tuhan yang sempurna. Sebaliknya seorang Nietzsche, sang Filsuf martir, melalui tokoh Zharatustra menyebut gagasan manusia idealnya dengan istilah Ubermensch, sebuah gambaran manusia ideal dengan kehendak untuk berkuasa (The Will to Power) atas beberapa nilai dalam hidupnya. Karena itu, Nietzsche mengatakan; Requiem Aeternam Deo, Semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi, yang artinya selamat tinggal atas tata nilai yang telah membelenggu kebebasan manusia. Dan masih banyak lagi idiom atau term-term dari para pemikir, filsuf, sufi, santo, dan para pujangga tentang manusia ideal dalam bingkai pemikiran mereka masing-masing.

Dalam salah satu karyanya, Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang Sufi, Pujangga Agung yang bergelar pujangga terakhir Tanah Jawa, telah memberikan idiom terhadap manusia ideal dalam gagasannya dengan istilah Jaka Lodhang. Istilah itulah yang kemudian menjadi tajuk dari salah satu karyanya berjudul ‘Serat Jaka Lodhang’. Sebuah karya berwujud tembang macapat (syair dalam bahasa Jawa). Karya dengan bertemakan futuristik, prediksi, dan realitas yang sedang dan akan terjadi. Serta berbagai saran, nasihat, dan cara menyikapi berbagai realitas tersebut. Karya inilah yang akan kami interpretasikan dalam bentuk kajian sederhana yang singkat dan berseri.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *