Teras Rasa

Isu pemakzulan Wapres Gibran: Etika, Konstitusi, dan Nurani Bangsa

Dalam perjalanan politik Indonesia, isu pemakzulan pemimpin bukanlah hal baru. Ini adalah cerita klasik. Namun, ketika nama Gibran Rakabuming Raka, mencuat dalam perbincangan nasional tentang pemakzulannya sebagai Wakil Presiden, pertanyaan-pertanyaan pun muncul di benak kita. Apakah ini sekadar dinamika politik yang sekadar menghiasi media belaka, ataukah ada pelajaran yang lebih penting tentang kepemimpinan, konstitusi, dan etika?

Sebagai putra Presiden Joko Widodo, tentu kehadiran Gibran di panggung politik nasional telah memunculkan berbagai pertanyaan, baik dari sudut pandang konstitusional maupun etika. Dalam konteks ini, perdebatan mengenai kelayakannya sebagai Wakil Presiden pun muncul, terutama terkait dengan perubahan syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini telah memuluskan langkah Gibran, yang saat itu berusia di bawah 40 tahun, untuk mencalonkan diri sebagai Wapres. Keputusan kontroversi ini mengundang tanda tanya. Lantas menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang menyebut pencalonan Gibran sebagai wujud pembangkangan terhadap konstitusi.

Apabila menilik sejenak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdapat panduan yang jelas mengenai mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Di dalam Pasal 7A dikatakan, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Selanjutnya, prosedur pemakzulan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 7B UUD 1945. Dimana dalam pasal tersebut mengharuskan DPR untuk terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) guna memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun, sekali lagi, proses ini tidak mudah. Pengajuan permintaan ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR.

Jika MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka DPR harus menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian tersebut kepada MPR. MPR kemudian wajib menyelenggarakan sidang guna memutuskan usul tersebut paling lama 30 hari terhitung sejak menerima usul dari DPR. Keputusan MPR diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.

Dalam perspektif Islam, kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan se-adil-adilnya dan bertanggung jawab. Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis sangat menekankan pentingnya integritas, kejujuran, dan keadilan dalam memimpin. Jika seorang pemimpin melakukan pelanggaran yang merugikan umat, maka umat memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban dan, jika perlu, mengganti pemimpin tersebut.

Namun, Islam juga mengajarkan prinsip tabayyun, klarifikasi sebelum mengambil keputusan. Dalam konteks Wapres Gibran misalkan terkait beberapa isu yang dikaitkan dengannya, termasuk dugaan perbuatan tercela terkait akun media sosial “fufufafa” dan kontroversi mengenai ijazahnya. Namun sejauh ini belum ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Wapres Gibran melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa tuduhan terhadap Gibran didasarkan pada bukti kuat dan bukan spekulasi apalagi sekadar motif politik golongan.

Alhasil, Pemakzulan adalah mekanisme konstitusional yang serius dan harus dijalankan dengan hati-hati. Dalam kasus Wapres Gibran, belum ada bukti yang cukup kuat dan dapat dipertanggung jawabkan untuk memulai proses tersebut. Karena sebagai negara hukum, sangat penting menegakkan keadilan dan memastikan bahwa setiap tindakan didasarkan pada kebenaran dan bukan prasangka. Dan sebagai bangsa, kita perlu menjaga integritas proses hukum dan etika dalam kehidupan politik, memastikan bahwa setiap tindakan diambil demi kemaslahatan bersama.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *