
بسم الله الرحمن الرحيم
الۤمّۤۚ ١
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ ٢
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۙ ٣
وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ ٤
اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ٥
Alif Lām Mīm, Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Protagoras, dengan gaya retorikanya yang memukau, berkata: “Kebenaran itu relatif, Sokrates. Apa yang baik bagi seseorang, belum tentu baik bagi orang lain. Yang penting adalah apa yang berguna dalam praktik—itulah kebenaran!”
Sokrates, dengan senyum khasnya, membalas: “Kalau begitu, jika seorang tiran merasa membunuh adalah hal yang berguna, apakah itu menjadi kebenaran? Apakah tidak ada standar moral yang lebih tinggi dari sekadar kepentingan praktis?”
Protagoras, sebagai pragmatis sejati, berargumen bahwa nilai suatu ide tergantung pada manfaatnya. “Hukum dan moralitas diciptakan manusia untuk mengatur masyarakat. Jika aturan itu tidak lagi berguna, kita harus mengubahnya!”
Sokrates, sang idealis, menantang: “Lalu, jika semua kebenaran hanya soal manfaat, bagaimana kita bisa membedakan antara kebijaksanaan dan kelicikan? Bukankah harus ada kebenaran yang tetap, seperti keadilan itu sendiri, yang tidak bergantung pada opini manusia?”
Pertarungan ini terus bergema sepanjang sejarah, dari Plato vs kaum Sofis, Kant vs Hume, hingga modernisme vs postmodernisme. Sokrates mati demi idealismenya, sementara Protagoras dikenang sebagai bapak relativisme—dua kutub yang tetap relevan hingga hari ini.
“Apakah kita hidup untuk mengejar yang ideal, atau sekadar bertahan dengan yang praktis?” — Itulah pertanyaan abadi yang mereka wariskan.
Baca juga : Al Haqq; Osilasi, Realitas, dan Kebenaran #3. Kesederhanaan, Kompleksitas, dan Realitas. https://terasrasa.id/al-haqq-osilasi-realitas-dan-kebenaran-3-kesederhanaan-kompleksitas-dan-realitas/
Kebenaran adalah wajah lain dari Realitas. Sistem Imajiner, sistem yang lebih kompleks yang melengkapi sistem Real (Nyata). Berbeda dengan realitas yang menampilkan segala sesuatu apa adanya, kebenaran menampilkan dimensi lain yang memberi penjelasan atas realitas yang sedang dialami dan dirasakan itu. Semacam jawaban atas pertanyaan mengapa kita dihadirkan bersama dengan realitas, ada di dalam realitas, dan membentuk realitas.
Kebenaran adalah sebuah struktur sekaligus sistem kesadaran (intelek) yang bersifat simbolik yang dalam manifestasinya di alam semesta berevolusi dari sistem yang paling sederhana terukur dan dapat dijelaskan menuju sistem yang paling kompleks yang kacau dan membingungkan. Karena itu kebenaran ini memiliki dua dimensi yang saling melengkapi:
- Dimensi struktural-fungsional (pragmatis-otomatis): Kebenaran di sini adalah alat adaptasi, kreativitas, refleksi, dan pengembangan diri — valid sejauh ia efektif dalam membantu manusia berinteraksi dengan semesta dan bertahan di dunia nyata.
- Dimensi sistemik-esensial (ideal-intuitif): Kebenaran sebagai prinsip eksistensial yang bersifat evolutif — terbuka terhadap revisi melalui logika simbolik dan fakta empiris, mencerminkan pencarian tanpa akhir menuju pemahaman yang lebih mendalam dan universal.
Puncak Kebenaran dalam dimensi structural-fungsionalnya dapat direpresentasikan oleh obyektifitas dan universalitasnya (Dien). Kebenaran yang diterima oleh semua orang dan menjadi basis tindakan individu dalam berinteraksi dengan lingkungan. Melalui basis kebenaran ini, aksi atau tindakan dapat dilakukan secara spontan, otomatis terprogram seperti robot, dan beroperasi pada tataran teknis-pragmatis, sebagaimana dipahami apa adanya sesuai algoritmanya. Prinsip obyektifitas dan universalitas menjadikan kebenaran sebagai medan tertutup, hal ini memungkinkannya untuk menjadi instrumen sukarela maupun terpaksa bagi siapapun yang berada dalam sistem ini untuk patuh dan bertindak sesuai prinsip ini. Orientasi dari sistem ini adalah membangun keteraturan dan stabilitas, inilah yang mendasari pernyataan Protagoras : “Hukum dan moralitas diciptakan manusia untuk mengatur masyarakat. Jika aturan itu tidak lagi berguna, kita harus mengubahnya!”.
Puncak Kebenaran dalam dimensi sistemik-esensialnya dapat direpresentasikan oleh subyektifitas-eksistensialitasnya (Fithrah). Kebenaran yang tidak diam, bersifat sistemik yang memiliki arah dan tujuan, untuk memperoleh penjelasan dan makna dari sistem yang bersifat kacau, membingungkan, dan tak dapat dijelaskan. Prinsip Subyektifitas dan Eksistensialitas menjadikan kebenaran sebagai medan terbuka, hal ini memberi ruang bagi dorongan mendasar dalam mencari makna dan pemahaman mendalam (ideal) dapat terpenuhi; antara kebutuhan bertahan hidup, naluri hewani dan kebutuhan eksistensial sebagai hewan berakal, yang membedakan manusia dari hewan, “yang membedakan seorang filsuf dari seorang tukang tipu”.
Kebenaran adalah medan osilasi di antara pragmatisme dan idealism, karenanya kesedarhaanaan dan kompleksitas realitas dapat diinterpretasi. Interpretasi sedemikian atas realitas memaksa kebenaran untuk bangkit menemukan esensi kreatif yang tertanam di dalam dirinya.
Dalam integrasi ini, kebenaran bukan sekadar “apa yang berhasil secara capaian kreatif” atau “apa yang mutlak benar” melainkan sebuah proses hidup yang terus berkembang. Kebenaran yang efektif secara pragmatis harus selalu diuji ulang melalui logika rasional dan bukti empiris, sementara kebenaran ideal hanya menjadi bermakna ketika ia berdampak nyata pada kehidupan manusia.
Baca juga : AL HAQQ: OSILASI, REALITAS,DAN KEBENARAN #2 What and Why https://terasrasa.id/al-haqq-osilasi-realitasdan-kebenaran-2-what-and-why/
Dengan demikian, kebenaran menjadi sistem adaptif yang berkembang — mengakar pada realitas praktis namun tetap terbuka terhadap penemuan baru, menyatukan manfaat praktis dan pencarian makna secara holistik. Kebenaran seperti titik referensi sehingga kita tidak repot dan dibingungkan ketika berhadapan dengan realitas.
Kesadaran retrospektif atas apa yang benar dari rutinitas masa lalu dan telah diterima secara universal memungkinkan kita untuk tenang dalam beraktifitas tanpa takut diadili dan dipersalahkan. Kesadaran introspektif atas makna yang diperoleh dari rutinitas masa lalu memungkinkan kita untuk sejenak menunda aktifitas rutin, merenung, dan berfikir mempertimbangkan adanya kemungkinan ada yang lain dibalik manfaat praktis dan pragmatis, yang lebih ber”nilai” daripada sekedar ber“harga”. Kesadaran prospektif atas apa yang lebih benar, lebih tinggi, lebih agung di masa depan yang melampaui realitas yang dialami dan direnungkan yang membuat individu mampu melampaui batasan-batasan yang membelenggunya saat ini;
tak ada realitas tanpa kebenaran yang bebas dan kreatif memaknainya, dan
tak ada kebenaran tanpa realitas yang membuatnya aktual untuk diikuti dan dipatuhi
وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ١٤٨
Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. QS 2:148
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ٣٠
Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. QS 30:30
Mau komentar takut tidak dibenarkan. Diam dianggap membenarkan. Lalu aku harus bagaimana ? (Gus Mus). Bilang salah nanti dipersalahkan. Berpendapat beda, jangan-jangan dianggap melawan kebenaran. Lalu aku harus bagaimana? (Gus Mus lagi).
Yang pasti, saya agak condong Protagoras ” pokoknya berguna dalam praktik adalah kebenaran”. Tapi belum selesai satu hisapan cigaret, kayaknya benar juga yang dikatakan Socrates. Lalu aku meramunya dengan asap yang mengepul. Dan batinku berkata,” yo wes lah sak ucap-ucapmu, wong kebenaran itu pemiliknya hanya satu. Kita saja sih yang bikin kebenaran itu menjadi banyak. Mpu Tantular dalam Sotasoma “Rwaneka dhatu winuwus Budha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwosen. Mangkang Jinatwa takelawan Siwatatwa tunggal, Bhineka tunggal ika “Rwaneka dhatu winuwus Buddha n hana Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”
Kebenaran dewe iku definisine opo Mbah Jim….?
Uang.
Kripik tempe
Opo cendol.
Dll.
Opo Tergantung sipa yang memandang.
Bhinnêka (jama’) tunggal (mufrod) ika (mufrod), tan hana dharma mangrwa (mendua ..mutsana). Satu jama’ dua tunggal, tapi gak onok darma sing mendua.. Lha kok cik yo notone
Lha komenku kok mbulet…ada dua kalimat tak ulang . Aboot ndasku
Anda termasuk bagian dari “…tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. QS 30:30” (hahaha)