Teras Rasa

Spiritualitas Resi Subali Part 1

Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di dalam hati
Tidak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing masing kepada Tuhan tak bisa bertemu.
-Emha Ainun Najib-
[1]

Purwa Carita

Om Awighnam Astu nama sidham

Anjani, Guwarsa, dan Guwarsi terkena amarah Sang Maha Resi Gotama, ayah mereka. Gelombang amarah itu menggetarkan setiap pasang mata yang melihatnya. Amarah yang disulut karena ketiga bersaudara itu ketahuan berebut Cupumanik Astaghina. Sebuah ‘wewadi’ yang tidak sembarang mahkluk boleh mengetahuinya. Dari dalam cupu, tergelar semua rahasia dunia, juga swargaloka.

“Dari mana kalian memperoleh cupu tersebut?”, tanya Resi Gotama dengan wajah semerah saga.

Ketiga anak Resi Gotama serentak menjawab, “Dari Ibu”

Yang dimaksud dengan ibu adalah Dewi Windradi, bidadari kahyangan putri Bathara Asmara. Sebelum menikah dengan Resi Gotama, ia pernah memadu kasih dengan Bathara Surya, Sang Dewa Matahari. Oleh sang Bathara Surya, ia diberi Cupu Manik Astaghina sebagai wujud tali asih, benda yang kemudian diperebutkan oleh Anjani, Guwarsa, dan Guwarsi.

Sang Maha Resi terbakar rasa cemburu. Dewi Windradi kembali ditanya oleh Sang Resi dari mana memperoleh cupu tersebut. Sang Dewi terdiam. Bahwa cupu tersebut adalah pemberian Bhatara Surya telah masuk dalam memori sang Resi. Akibatnya, Resi Gotama mengutuk istrinya menjadi seonggok tugu. Sabda Pandita Ratu. Tugu itu dilempar jauh-jauh dengan kekuatan adikrodati, terjatuh di tengah Taman Argasoka, tempat nan indah di sebuah negeri bernama Alengka. Kelak dikemudian hari, Hanoman cucu Sang Dewi yang dapat membebaskannya dari kutukan laknat tersebut.

Kemarahan Sang Resi Gotama masih berlanjut. Giliran Cupumanik Astaghina yang menjadi pelampiasan amarah Sang Maha Resi. Cupu itu dilempar. Penutup cupu jatuh di Negeri Ayodya bermanifestasi menjadi telaga Nirmala (air suci). Sebaliknya, badan cupu jatuh ketengah hutan menjadi Telaga Sumala (air keruh). Anjani, Guwarsa, dan Guwarsi berlomba mengejar cupu ditengah hutan. Bukan cupu yang mereka temukan, melainkan sebuah telaga.

Dikiranya Cupumanik Astaghina jatuh ke tengah telaga, ketiga bersaudara segera menceburkan diri guna mencari cupu. Setelah keluar dari telaga, ketiga bersaudara itu tidak sadar bahwa wujud mereka telah bertrasformasi menjadi entitas lain. Seekor kera. Guwarsa dan Guwarsi saling berkelahi karena tidak saling kenal dengan wujud barunya. Mereka baru dapat dilerai setelah Resi Gotama datang untuk menyadarkan ketiga anaknya tersebut. Bahwa wujud mereka berubah adalah suratan Dewata.

Pasca peristiwa nahas itu, Guwarsa berganti nama Subali, Guwarsi menjadi Sugriwa. Air mata segera mengalir dari pelupuk ketiga putra Resi Gotama itu. Tetesannya jatuh mengenai bumi pertiwi yang juga turut iba melihat kemalangan mereka. Ketiga bersaudara lantas bersujud kepada Resi Gotama agar dikembalikan ke wujud semula. Sang ayah hanya bergeming, ia memberi petuah,“Walaupun wujud kalian seekor kera, akan tetapi hatimu seperti manusia, itu lebih baik daripada berwujud manusia namun berwatak seperti kera”

Pada akhirnya, Resi Gotama memberi arahan kepada Anjani untuk melakukan ‘Topo Nyantoko’ bermeditasi meniru seekor katak. Subali dengan ‘Topo Ngalong’ layaknya kelelawar, dan Sugriwa ‘Topo Ngidang’ seperti seekor kijang.

Maha Yogi

Mengerucut padah kisah Subali. Putra kedua Resi Gotama itu memilih Gunung Sunyapringgo (kesunyian dalam situasi yang ruwet/pakewuh) sebagai lahan mujahadahnya. Tempat nan sunyi dari hingar-bingar dunia. Kedua kakinya ia ikat erat pada cabang pohon Abadi. Pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit.[2]

Pohon Abadi Ashvatth yang kekal dengan akar di atas dan cabang di bawah. Daunnya adalah nyanyian pujian Weda (pengetahuan), dan orang yang mengetahui rahasia pohon ini adalah orang yang mengetahui Weda (Ulama). Cabang-cabang pohon itu menjulang ke atas dan ke bawah, dipelihara oleh tiga guna, dengan objek-objek indera sebagai kuncup-kuncup yang lembut. Akar-akar pohon itu menjuntai ke bawah, menyebabkan aliran karma dalam wujud manusia. Di bawahnya, akar-akarnya bercabang ke luar yang menyebabkan tindakan-tindakan di dunia manusia.[3] Kayu adalah hayu. Hayu, demikian nama lain kehidupan. Memayu hayuning bawana.

Om Dewa Suksma Parama Acintya ya Nama Swaha.[4]

Kepala Subali terjulur kebawah. Bergelantungan tak ubahnya kelelawar yang menunggu mentari tenggelam di ufuk barat. Ia menghayati esensi kehidupan kelelawar, jenis mamalia yang keluar saat kegelapan telah menghiasi cakrawala. Tidak menabrak sesuatu meski secercah cahaya berhalangan untuk hadir. Sang Kelelawar dianugerahiNya sebuah radar. Konektivitas di kedalaman hatinya. Berangkat dari hati, kelelawar sukses menditeksi benda yang berada didepannya.

Dengan kaki yang diikatkan menyilang, perlahan kesadaran Subali terseret ke pusaran Maha Hayu, Maha Hidup. Ia menggelantung. Tidak menyentuh permukaan bumi. Realitas. Subali menerima gelombang kesadaran, bahwa dalam posisi yang demikian, ia tidak merasakan adanya 8 penjuru mata angin. Tidak utara, selatan, timur, tidak pula barat. Kosong. Semua terasa hampa. Tidak mengarah ke satu arah juga tidak berpaling dari arah itu.[5] Ke mana pun menghadap, di sanalah wajahNya.[6] Subali merasakan alam ‘suwung’.

Adanya penjuru arah diakibatkan keberpijakan kaki di permukaan bumi. Ke-bumi-an linear dengan Kerendahan meski dalam level-level tertentu tidak sama. Arah-arah itu pudar ketika kaki semakin manjauh dari pengaruh daya grafitasi bumi. Semakin ke atas (mi’raj), akan menuju alam ke‘langit’an, dalam suasana ‘awang uwung’.

Dengan wadag fisik yang terbalik, berpengaruh terhadap daya persepsi (idrak) Subali. Ia mengalami titik balik sejauh 180 derajat dari persepsi kebanyakan manusia. Jika selama ini kaki Subali menginjak bumi, kini ‘dharma gandhul’. Seperti makna gandhul dalam kitab-kitab di pesantren. Ia bergantung kepada Tempat Bergantung (As Shomad) satu-satunya di alam semesta.

Posisi Subali telah digambar dalam diagram Cartesius. Ketika sumbu X dan Y ditarik ke pusat, ia berada tepat pada pusat sumbu, titik nol. Tidak pada titik kordinat tertentu. Bilangan nol, ada tapi tiada, tiada tetapi ada. Subali menemukan kiblat dan ka’bahnya yang tergelar di dalam relung samudera jiwa. Pada hatinya.


[1] Emha Ainun Najib, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, (Bandung, Mizan: 2019), hlm. 163

[2] QS 14: 24

[3] S. Radhakrisnan, Bhagawadgita, (Yogyakarta, Ircishod, 2007) hlm 352.

[4] Doa dalam ber-Yajna yang artinya : Ya Tuhan, saya akan kembali kepadamu yang maha gaib

[5] Ibnu Arabi, Mendaki Tangga Langit; Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī (Yogyakarta, INDeS, 2016), hlm 74.

[6] QS 2: 115

Artikel ini pernah terbit di Jurnaba.co dengan sedikit perubahan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *