Ya ! Apakah Anda Santri. Atau Apakah Saya Santri. Dan Santri itu apa?
Sejumlah pertanyaan muncul di sebuah kedai bakso depan rumah. Sebut saja Samid yang tiba-tiba membuka obrolan dengan sebuah pertanyaan, “ Apa sih kepanjangan Ha eS eN ?” demikian dia menggelindingkan pertanyaan tanpa menuju siapa yang harus jawab. Secepat kilat Gholil menjawab, “ Hari Sarung Nasional,”. Kontan saja sekira lima pelanggan bakso bersamaan berseru “ huuuuu….ngawur!”. Tidak patah arang, Gholil menimpali dengan “ Hari Songkok Nasional,”. Kembali dibalas dengan seruan “ huuuu ngawur maneh!”. Gholil kembali berdalih, “ Kan cocok semua pada mengenakan sarung dan songkok,” tukas Gholil membela diri. “ Ha eS eN itu Hari Santri Nasional bro!,” sahut Bendot sambil melahap penthol bakso tanpa melihat sekeliling. “ Oooo berarti peringatan ini ya untuk kalangan yang mondok di pesantren saja, wong Hari Santri,” ucap Samid menyimpulkan. “ Itu khsusus Islam tah?, gumam Doni, peranakan Cina yang Katolik. “ Berarti kita semua tidak ikut diperingati to! Kan bukan santri,” sahut Gholil sambil ngeloyor pergi memenuhi panggilan pelanggan ojek onlinenya. Dia mungkin berpikir peringatan itu setara dan tidak jauh beda dengan Hari Guru, Hari Pendidikan Nasional, Hari Buruh, Hari Tentara Nasional Indonesia, Hari Kepolisian Republik Indonesia, Hari Dokter, Hari Tani Hari Maulid Nabi Muhammad SAW, Hari Natal, Hari Waisak, Hari Galungan dan hari peringatan yang lain. Bahkan tidak cukup itu, penyakit juga diperingati. Seperti Hari Jantung, Hari Paru-Paru, Hari Kusta, Hari Aids dan sebagainya. Dan mungkin Gholil dan Doni memendam pertanyaan, “ Apa pentingnya Hari Santri Nasional buat saya?”.
Obrolan di atas menjadi menarik karena terjadi pas peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2024 di sebuah kedai bakso. Artinya, sejak ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 , pengertian Hari Santri Nasional belum sepenuhnya dipahami berbagai lapisan masyarakat – warga Bangsa Indonesia. Joko Widodo (Jokowi) selaku Presiden Republik Indonesia ke – 7, memberikan tiga poin pertimbangan dalam Kepres tersebut.
Poin a, bahwa ulama dan santri pondok pesantren diakui memiliki peran yang besar dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Poin b, bahwa untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia serta untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa maka perlu ditetapkan Hari Santri pada 22 Oktober.
Poin c, ditetapkannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bersandar keluarnya Resolusi Jihad oleh Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945. Isinya, mewajibkan seluruh ulama dan santri serta umat Islam di penjuru Indonesia untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.
Tidak salah juga, jika HSN dipanjangkan dengan Hari Sarung Nasional, karena tiba-tiba peserta upacaranya semua bersarung. Atau HSN dipanjangkan dengan Hari Songkok Nasional, karena mendadak mengenakan songkok hitam khas murid pondok pesantren. Kemudian dilanjutkan berbaris- berarak-arakan keliling kota dengan mengenakan busana dengan dominasi sarung dan songkok. Inikah Hari Santri Nasional?. Wajar bila Gholil ngeloyor pergi begitu saja dengan wajah datar, seolah HSN bukan tentang dia. Lalu siapakah santri itu? Apakah harus menjadi peserta didik di Pondok Pesantren yang boleh disebut santri? Apakah harus NU (Nahdlatul Ulama)?
Santri menurut C.C Berg, sejarawan Belanda berasal dari Bahasa India “shastri” yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku agama Hindu atau orang yang ahli kitab suci agama Hindu. Sedangkan menurut A. H. John, istilah santri berasal dari Bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Selanjutnya penulis Clifford Geertz, dalam bukunya The Religion of Java (1960), menuliskan, “Istilah santri mempunyai dua arti; pertama, santri adalah murid-murid pesantren, kedua, santri memiliki arti lebih luas mencakup seluruh kaum muslimin yang ta’at baik tradisional maupun modernis. KH Mustofa Bisri (Gus Mus) memberikan definisi tersendiri tentang makna seorang santri. Seperti yang dilansir pada akun medsosnya saat memeringati HSN ke – 3 Tahun 2018. Setidaknya terdapat enam definisi yang disampaikan Gus Mus. “Santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan),” kata Gus Mus. Santri juga adalah kelompok yang mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada. “Yang mencintai tanah airnya (tempat dia dilahirkan, menghirup udaranya, dan bersujud di atasnya) dan menghargai tradisi-budaya-nya. Yang menghormati guru dan orang tua hingga tiada,” lanjut Gus Mus. Seorang santri, adalah kelompok orang yang memiliki kasih sayang pada sesama manusia dan pandai bersyukur. “Yang menyayangi sesama hamba Allah; yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar (minal mahdi ilãl lahdi); Yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah mendapat ridha tuhannya. Santri ialah hamba yang bersyukur. Menurut Kemenag, santri adalah orang yang memiliki pemahaman dan cara pengamalan keagamaan yang moderat, toleran, dan cinta tanah air. Dan menurut KBBI, santri adalah orang yang mendalami agama Islam, beribadat dengan sungguh-sungguh, dan saleh. Jika demikian, kita masuk dalam salah satu kriteria santri di atas atau tidak?.
Meminjam kalimat Aswab Mahasin, Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen Jawa Tengah, yang dimuat pada NU Online, 22 Oktober 2017, “ Dan perlu diingat, kita semua adalah santri, siapapun diantara kita yang pernah mondok atau belum pernah mondok adalah santri. Dalam definisi pendeknya santri adalah orang yang belajar agama dan mendengar petuah kiai, dan kita semua orang Islam pernah merasakan hal itu, jadi kita semua adalah santri, dan akan menjadi santri pada waktunya,” demikian tulis Aswab Mahasin. Jadi, masih bersikeras paling santri?. Jika ya jawabannya, maka ambil dan miliki HSN itu untuk kalangan terbatas pondok pesantren dan Nahdlatul Ulama saja. Atau ganti kepanjangan HSN dengan Hari Santri Nahdlatul Ulama.
Hadiah Hari Santri Nasonal bukan sebatas membanggakan kakek-buyut kita yang telah heroik merebut, membela dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Bukan sekadar kepantasan untuk mengenang sebuah sejarah, melainkan pembuktian untuk kepantasan sekarang dan yang akan datang, bahwa santri mampu mempertahankan keutuhan NKRI, berperan dalam pembangunan negeri dengan tetap berlandaskan nilai-nilai islam dan menjaga tradisi. Tawasshut, Tasammuh, Tawazzun, dan kita semua akan menjadi santri pada waktunya.