Sketsa dalam pendekatan ilmu seni rupa adalah bentuk dasar dari sebuah awal visual, dia adalah kumpulan titik menjadi garis, menangkap impresi dari sebuah premis untuk di wujudkan menjadi visual yang di sebut Sketsa. Untuk mengaktualisasikan sebuah Sketsa dalam media gambar kertas atau kanvas dapat menggunakan berbagai alat salah satu yang paling populer adalah menggunakan pencil. Pencil adalah seonggok arang yang terbungkus kayu, semakin pekat nilai arang didalamnya maka semakin hitam dan pekat pula jejak yang di tinggalkannya.
Sketsa Dalam Lukisan
Untuk menghasilkan sebuah citraan rupa dalam kanvas, selain konsep, ide dan gagasan, suatu lukisan membutuhkan sketsa, sketsa adalah hal fundamental dalam sebuah lukisan sebab dia adalah pijakan awal bagi seorang perupa untuk menggoreskan dunianya. Berlaku untuk lukisan bagus maupun jelek, Semua di awali dengan sketsa yakni dari sebuah titik. Titik inilah yang di sebut titik wijud. Seorang maestro pun tak luput juga membuat sketsa dalam karya masterpiecenya, Seperti Leonardo Da Vinci dengan Tuhan Jesusnya, Rembrandt dengan temuram cahayanya, Raden Saleh dengan ijtihad tarekat atas perjuangan mursyid walinya, Affandi dengan potret dirinya, S.Sudjojono dengan geliat pemberontkannya,dll. Semua melalui proses yang di sebut sketsa.
Selain manuskrip catatan, lukisan adalah sebuah rujukan utama dan penting dalam aspek penggalian sejarah sebelum era digital berkembang karena didalamya memuat landscape yang seolah-olah menjadi museum, penggalan fragmen yang didalamnya tediri dari artefak di zamannya.
Tumpulnya Kepekaan Atas Potret Diri
Di zaman sebelum era digital, Lukisan adalah sebuah keanggunan zaman dimana perupa menangkap sebuah peristiwa yang penting untuk menandai sejarah. Aspek yang terkandung dialamnya sangat luas sehingga menuai ragam tafsir atas epilog rupa yang ditinggalkannya.
Potret Diri adalah salah satu dari ragam penggambaran dalam eksplorasi di dunia seni rupa.
Bagi penulis bahwa Lukisan Potret Diri adalah sebuah wujud penggambaran tentang cara pelukis dalam menunjukkan citra seseorang. Cara dalam menunjukkan potret diri itu sendiri menarik untuk di perbincangkan, sebab awalnya bukan hanya persoalan visual, tetapi juga bagaimana seseorang tersebut seharusnya ditunjukkan menjadi nampak dan bahkan seharusnya terlihat. Kecenderungan tersebut berlangsung sejalan dengan pembicaraan mengenai wacana tentang tubuh. Maka dari itu ihwal potret diri bukan hanya saja soal ekspresi wajah, tetapi juga menggambarkan sosok yang ditunjukkan melalui gestur tubuh sebagai representasi bahwa tubuh juga merupakan penggalan dari potret diri.
……ihwal potret diri bukan hanya saja soal ekspresi wajah, tetapi juga menggambarkan sosok yang ditunjukkan melalui gestur tubuh sebagai representasi bahwa tubuh juga merupakan penggalan dari potret diri.
Dalam kacamata perupa, pandangan kritis terhadap keadaan juga dapat menjdi sumber dari banyaknya ide untuk di tumpahkan melalui sketsa, sebuah peristiwa juga dapat di tafsir melalui potret diri keadaan disekitanya seperti cerminan keadaan suatu wilayah atau negara, misalnya Seorang Bapaknya dengan hegemoni kekuasaanya. Watak yang ditampilkan pun menjadi riset bagi perupa, Sebab untuk menela’ah premis tersebut dibutuhkan lebih banyak sisi kebijaksanaan yang begitu dalam untuk meghasilkan citraan, karena citraan dapat begitu manipulatif bagi mata telinga dan pikiran.
Jangankan seorang perupa bahkan awam pun demikian Seolah kita terjebak akan sosok dari Bapaknya pada realitas dalam aspek simulasi yang berlaku hukum simulacrum, yang berarti “Sebuah realitas duplikasi dari realitas duplikasi yang sejatinya aslinya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara realitas duplikasi dan kenyataan asli menjadi terkaburkan”. Objek atau peristiwa itu diperagakan seakan sama atau mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya tidaklah nyata.
Mempersoalkan apsek nilai sektsa potret dalam konteks kajian geo-sosial secara global di negeri ini, sebagai contoh adalah persoalan yang mutakhir yakni pengaruh media massa misalnya. Media elektornik lebih banyak menvisualkan dunia simulasi yang bermotifkan hiperrealitas, suatu kenyataan yang dibangun oleh lingkup media tetapi seolah benar-benar realitas. Media sudah tidak lagi mencermirkan realitas aslinya, bahkan sudah menjadi realitas itu sendiri. Gejala ini sudah mafhum bagaimana suatu media mendramatisasi peristiwa, menggodok peristiwa demi kepentingan dan bahkan menarasikan sesuai perintah Bapaknya jika suka atau tidak suka. Semuanya memiliki narasi simulasinya.
Media modern (televisi, film, cd, majalah, billboard, Internet, youtube, social media,dll) yang bersangkutan sudah tidak hanya dengan menyampaikan suatu informasi atau cerita akan tetapi juga menafsirkan ranah diri kita bahkan sisi yang paling pribadi dari kita sekalipun. Hal ini Membuat kita mendekati dunia melalui lensa gambar-gambar media secara lebih nyata. Oleh karena itu kita tidak lagi mendapatkan sesuatu karena kebutuhan nyata tetapi karena keinginan yang semakin ditentukan oleh iklan dan gambar yang dikomersialkan. Hal inilah yang membuat kita pada satu langkah dihapusnya diri kita dari realitas atau dunia sekitar kita.
Dapat dikatakan ada sebuah jarak yang terbentang luas antara nilai (moral) dan laku. Baik itu atas nama agama maupun juga dalam pandangan politik dan sosial, saat ini sangat dengan mudah orang saling hujat dengan aroma permusuhan. seorang yang arogan dan oportunis tetap diposisi sebagai kapitalis tunggal dan dipuja-puja. Di sisi lain ujaran kebencian menyeruak dari sekumpulan manusia yang berwibawa hanya karena prbedaan kepentingan, mazhab, aliran, serta orientasi keagamaan dan politik untuk membudak dan menghamba. Diksi norma dalam sketsa pencil untuk Bapaknya menjadi bentuk nilai luhur pun tumpul dan berhenti dalam ujaran verbal, tidak membuahkan perilaku emas yang menyebarkan tindakan santun, damai, dan keadaban.
Otokritik
Di lingkup semesta Sketsa Pencil Tumpul Untuk Potret Diri Bapaknya yang miskin pemaknaan tersebut segala hal menjadi serba jadi dan masuk akal bahkan dangkal. Kenyataan hidup menjadi rapuh dan para pelaku melakoni perannya menjadi tampak naif. Ketika arang dalam pencil semakin menekan dalam pijakannya melihat dunia diatas hitam putih, semakin hitam dan gelap pekat bayangan yang di tinggalkan atas jejaknya.