Dahulu, ketika semua hal serba sederhana, terdapat sebuah tradisi yang bernama tradisi ‘Wiwit’. Sebuah tradisi yang dilakukan ketika hasil pertanian hendak di panen. Bentuknya sangat sederhana mungkin. Hanya bersedekah telur dan tumpeng kecil dengan harapan untuk suatu hasil yang lebih “berkah”. Lalu, sebagian dari prosesi tradisi wiwit ini diusung ke rumah dengan besedekah tumpeng, dengan mengundang tetangga sekitar.
Ada kepasrahan. Ada tendensi sakral pada Sang Penciptanya. Dan hari-hari belakangan ini hal seperti itu sirna sudah. Bukan ritualnya, tapi kita menarik kesadaran bahwa panen atau usaha itu pasti ada campur tanganNya. Dibalik hasil yang banyak maupun sedikit. Hari-hari ini kita lebih percaya kepada produsen pestisida untuk sebuah hasil. Lupa kepada sunnatullah, hukum alam. Bahwa serangga itu ada yang mempunyai. Iklim itu ada yang mengatur. Dan seterusnya.
Belum apa-apa tanaman masih baru tumbuh, minimal ada 4 unsur yang harus disiapkan. Pertama, Pestisida untuk sahabat-sahabat serangga. Kedua, Fungisida untuk melawan iklim. Ketiga, Pupuk daun atau ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) untuk mengatasi tanaman yang kadang butuh istirahat sedikit untuk tumbuh. Kemudian pelekat atau lem (penakluk kutikula daun) agen-agen kimia yang biasanya made in luar negeri, biar menempel di daun, masuk sistemik ke tanaman dan mengena secara langsung. Hewan-hewan kecil sahabat kita sendiri menjadi knock out.
Benarkah itu semua …..
Salahkah kah itu semua….
Entahlah.
Tapi mari kita coba, melihat masa lalu, melihat laku bertani, para petani sepuh atau bahkan banyak yang telah mendahului kita.
Gumuk
Pertama, Di sawah atau kebun, dulu sering kita temui “gumuk” atau gunungan kecil atau tumpukan batu. Di sudut pekarangan atau sawah, yang berfungsi untuk kumpulkan batuan yang ditemukan ketika mencangkul sawah atau kebun, secara nggak langsung. Berkurangnya batuan di sawah akan berpengaruh pada tekstur (bentuk butiran) tanah, yang tentunya sangat berpengaruh terhadap struktur atau kandungan unsur hara tanah, sehingga tanah menjadi subur.
Kedua, ” gumuk” itu berfungsi juga sebagai rumah persembunyian para musuh alami hewan perusak tanaman, tikus utamanya, yaitu ular. Sehingga populasi tikus terkendali.
Sekarang “gumuk” itu hampir tidak pernah kita temui, dengan logika mempersempit area tanam. Gunung kecil itu dibongkar semua tanpa sisa. Ular diburu, persembunyian mereka di bongkar. Akibat-nya ledakan populasi tikus terjadi di banyak tempat.
Rodentisida atau racun tikus harus dibeli. Anggaran petani menjadi naik, untuk beli racun tikus. Tikus yang sakit karena kena racun lantas di makan kucing. Tikus mati, kucing-pun banyak yang mati karena kena racun tikus, populasi kucing pemburu tikus jadi menurun.
Alhamdulillah mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan Alam.
Ditunggu Part 2
Part 2 insya Allah Sampun gus Khusnul,
Cobi tekan …. Next
Maturnuwun
Sampun. Gus, cobi d tekan next