Teras Rasa

Ibu Kota Nusantara, apa itu? #2

Nusantara Dalam Sumpah Palapa

Mahapatih Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapa yang isinya sebagai berikut:

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”.

Terjemahannya adalah:

“Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.

Secara morfologi, kata Nusantara adalah kata majemuk.

Dalam Kitab Negarakertagama mencantumkan banyak wilayah-wilayah “Nusantara”, kalau ditarik secara geografis pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan.

Kata Ahli Sejarah Tentang Nusantara

Sejarawan Indonesia banyak yang meyakini bahwa konsep kesatuan Nusantara yang dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa pada tahun 1336 bukanlah yang pertama kali, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad sebelumnya oleh Si Maharaja Kertanegara yang memerintah kerajaan Singhasari (Kota Malang, Jawa Timur) pada tahun 1275.

Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari. Secara etimologis, Dwipantara adalah kata dalam bahasa Sanskerta untuk “kepulauan antara”, yang maknanya sama persis dengan Nusantara, kata “dwipa” adalah sinonim dari “nusa” yang bermakna “pulau”.

Kertanegara mengusung gagasan bahwa memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi kemungkinan ancaman serangan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok.

Nah, karena alasan itulah Kertanegara merilis Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaan Malayu Dharmasraya di Jambi. Pada awalnya ekspedisi itu sendiri dianggap sebagai penaklukan militer, namu belakangan ini ekspedisi itu diduga lebih bersifat upaya diplomatik sebagai bentuk upaya unjuk kekuatan dan kewibawaan untuk menjalin persahabatan dan persekutuan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya.

Hal ini di buktikan bahwa Kertanegara justru mempersembahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk menyenangkan hati penguasa dan rakyat Malayu. Kemudian, sebagai balasannya raja Melayu mengirimkan putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak ke Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa Jawa.

Nusantara Sebagai Nama Ibu Kota Negara

Ketika akhirnya “Indonesia” ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi negara independen pelanjut Hindia Belanda pada Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara tidak serta-merta surut penggunaannya. Istilah ini kemudian tetap lestari dipakai sebagai sinonim bagi “Indonesia”, bahkan saat artikel ini ditulis Nusantara sudah ditetapkan dalam undang-undang sebagai nama baru ibu kota negara indonesia menggantikan jakarta.

Nusantara juga dipakai dalam berbagai hal yang utamanya berkaitan dengan kebangsaan, contohnya yakni baik dalam pengertian kebudayaan, antropogeografik, maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan Nusantara).

Otokritik

Namun harus tetap ada pertanyaan kritis tentang pemahaman kata Nusantara dalam arti Nusantara versi perspektif sejarah dan Nusantara sebagai nama ibu kota negara untuk generasi muda dan yang akan datang, jangan sampai kerancuan kata Nusantara menjadi alat pemecah belah bangsa kita yang gemah ripah loh jinawi ini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *