Teras Rasa

Duka, Kenyataan, dan Persahabatan

Nature morte à la Guitare, 1922 by Pablo Picaso
Pagi ini tidak seperti biasa, ada jeda waktu luang tuk membuka beberapa grup WA. Saya yakin tiap yang memiliki WA, pasti punya WAG. Tak hanya 1 grup, dari grup TK, SD, Pondok, Mts, MAK, kuliah S1, S2, Dawis, Pengajian, Muqoddaman, Manakib, Komunitas, Alumni, Keluarga, Bani,  dan masih banyak lagi. Rupanya tak jarang WAG tersebut masih dibreakdown lagi seperti contoh grup TK; dirinci grup TK yang ada gurunya, grup TK yang tidak ada gurunya (khusus wali murid), grup TK pengurus kelas. Begitulah gambarannya. Itu baru 1 grup, belum yang lain. Kalau dihitung bisa lebih dari sekian puluh grup satu aplikasi WA. Nah kalau punya lebih dari 1 HP, 1 HP lebih dari 1 aplikasi WA (WA bisnis dan WA biasa) bisa dibayangkan lagi berapa WAG? Dari sekian chat WAG yang masuk sejak kemaren yang belum sempat dibaca adalah berita duka.

Riyen, riyen banget.….perasaan deg-degan sedih mengaduk emosi tiap mendapat telegram dari teman atau kerabat jauh. Kenapa? Karena paling sering, berita melalui telegram berhubungan dengan kabar kematian, sakit keras atau berita duka lain yang selalu mengharu biru. Empati luar biasa. Ketika era telegram berganti telepon (rumah), berita-berita lelayu masih menjadi kabar yang emosional, amargi orang yang dikabari pastilah mereka yang punya hubungan khusus atau kedekatan tertentu dengan yang meninggal.

Waktu terus berlalu seiring perkembangan teknologi, segala bentuk komunikasi semakin beragam dan telah mengalami perkembangan yang luar biasa cepat. Dan sekarang, berita atau kabar penting tentang kematian maupun berita duka lain bisa dengan cepat tersaji di depan mata tanpa kita minta. Berita-berita seperti itu tak ubahnya headline koran yang tidak pernah serius dibaca. (Mengakui sambil istighfar)

Atau lebih tepatnya seperti iklan yang dibaca sambil lalu yang lebih parah diskipp. Bahkan, ketika berita kematian orang besar, sahabat karib, kerabat dekat yang muncul di dinding media sosial, kita lebih memilih sekadar hanya me-like, kirim stiker dengan segala macam jenis belasungkawa, merespon dengan status Innalillah. Al-fatihah, maupun doa lain yang barangkali melebihi kerongkongan kita. Ketika sesuatu telah begitu dekat ternyata tak membuat kita dekat. Ketika sesuatu menjadi gampang, kita justru malah gampangaken, menganggap remeh. (Lagi-lagi mengakui sambil istighfar)

Jangan Sampai Hanya Notifikasi Bukan Peringatan

Pada Bulan Mei 2025 kemaren, mendapat berita duka 10 guru SD Asy Syafi’iyah Magelang meninggal dunia dalam kecelakaan ketika takziyah. Diantara yang meninggal diketahui 5 guru tersebut adalah haamilul Qur’an. Kenyataan pahit yang harus dihadapi dengan penuh ridho. Nateh dalam seminggu, saya mendapat berita duka dari banyak orang, baik yang kenal maupun tidak, tentang kematian kerabat dekat di Jatim, juga saudara dekat di Jateng, termasuk seorang murid saya dulu terkenal sehat, rajin donor darah, energik, muda belia dan masih gadis. Jangan sampai berita-berita duka yang kita dengar hanya sekedar sebagai notifikasi bukan peringatan.

Bukankah tiap berita duka merupakan seruan tuk kembali. Kembali apa? Muhasabah mempersiapkan perjalanan panjang selanjutnya. Ah...jadi ingat puisi “Nisan” karya Pak Chairil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta

Berita Duka Sesungguhnya

Berita-berita duka seharusnya menyadarkan, “betapa kematian ternyata begitu dekat, bahkan lebih dekat saking apapun”, termasuk gajet di tangan, yang justru menjauhkan pertemanan, menafikan kekerabatan dan meniadakan silaturrahim.

Saat ini silaturahim, pertemanan dan persahabatan mengalami degradasi dan distorsi pada makna dan nilai sakralnya. Betapa banyak piyayi menginginkan pertemanan sekadar ingin memengaruhi pikiran kita. Tidak sedikit yang menjadikan persahabatan sebatas saling pamer status sosialnya.

Kemaren saat saya di makarizo salah satu salon perawatan rambut, bertemu dengan ibu-ibu sosialita. Meski baru pertama ketemu, namun ngobrol ngalor ngidul dan ujung-ujungnya minta akun sosmed saya. Bukan bermaksud menolak pertemanan, namun hanya sekedar ikhtiyar lebih hati-hati. Dengan berbagai alasan akhirnya ibu-ibu sosialita tadi memahaminya. Fenomena unfriend dan remove dalam interaksi di media sosial menjadi bukti, bahwa inilah sesungguhnya berita duka itu.

Mari kita buka lagi kitab Al-Hikam karya Ibnu ‘Athoillah pada sub bab pertemanan spiritual:

لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ

وَلَا يَدُلُّكَ عَلَي اللهِ مَقَالُهُ

Janganlah anda berteman dengan orang yang tindakan-tindakannya tidak menyebabkan giat dan semangat untuk dekat kepada Tuhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *