Teras Rasa

Bahasa; Tafsir Ukuran atau Satuan Tai dan Air Seni

Terkadang yang tidak kita sadari saat menulis cerpen adalah tafsir ukuran dan satuan. Untuk hal-hal tertentu, saya sering berlama-lama untuk menentukan kata yang tepat sebagai bentuk ukuran. Semisal nih, untuk ukuran volume ‘tahi’ dan ‘kencing’. Karena tidak sabar, secara serampangan saja saya akan menuliskan ‘setumpuk tahi’ dan atau ‘segemericik kencing’.

Setelah cerpen jadi utuh dan mencoba membacanya kembali, rasanya kok gak enak. Seperti tidak terwakili sama sekali apa yang ada di kepala ini saat menuliskan ukuran ‘tahi’ dan ‘kencing’–yang saat itu butuh volume sedikit sekali. Setumpuk rasanya terlalu banyak. Segemericik juga begitu.

Karena penasaran, saya iseng-iseng ‘googling’. Apesnya susah sekali mendapatkan penjelasan ukuran satuan untuk kedua hal tersebut. Hingga tanpa sengaja akhirnya saya menemukan kisah menarik orang-orang Tempo jaman dulu. Salah satunya adalah Syub’ah Asa. Pada waktu itu beliau berhasil menemukan kata yang pas untuk ukuran satuan ‘tahi’, yaitu ‘seecret’. Di sana juga diceritakan betapa sumringah wajah beliau saat menyampaikan keberhasilannya menemukan kata ‘seecret’, sehingga digambarkan tak berbeda jauh dengan roman muka Archimedes setelah menemukan dalilnya yang terkenal;

Setiap benda, yang direndam seluruhnya atau sebagian dalam suatu fluida, diangkat oleh gaya yang sama besarnya dengan berat fluida yang dipindahkan oleh objek.

On Floating Bodies, Archimedes

Mungkin suatu saat saya akan menggunakan kata ‘seecret’ jika diperlukan. Dan secara serampangan lagi akan saya tulis kata ‘seicrit’ untuk satuan kecil yang dihasilkan dari aktifitas ‘kencing’ (meski belum saya temukan dasar teorinya). Toh, bahasa dengan se-abrek bentuk kata-kata dan kalimat-kalimatnya, bukanlah persoalan sesuai gramatika atau tidak, tapi lebih kepada persoalan disepakati atau tidak, bukan? Maka dari itu mulai sekarang mari bersepakat untuk ‘seecret’ dan ‘seicrit’ ini. Dan mungkin suatu saat kita bersepakat dalam kalimat yang lain sepertihalnya; “kenapa saya lebih suka menggunakan ‘padamu, aku mencinta’ daripada ‘aku mencintaimu’ (uhuk!)

Malang, –

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *