Teras Rasa

NU Branding; untuk kemandirian ekonomi yang lebih baik.

alfi saifullah

Kemandirian akhir-akhir ini menjadi trending topik di NU. Meski bukan merupakan hal baru, karena sejak berdirinya sudah mandiri, akan tetapi perbedaan kemandirian belakangan ini ada titik tekan kuat pada pergerakan ekonomi. Gerakan koin NU dapat dijadikan sebagai pijakan awal untuk melangkah menuju langkah-langkah berikutnya. Selain itu, ada juga yang mendirikan BMT, minimarket, serta penyertaan modal pada kegiatan-kegiatan usaha. Dengan basis yang kuat, NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia, dunia, bahkan sampai di akhirat (seloroh cendikiawan dari Yogyakarta), maka berbagai bentuk usaha itu “seharusnya” sukses.

Fokus pada pendirian bentuk-bentuk usaha itu tampaknya sangat simpel  dan mudah. Kita tinggal mendirikan koperasi lalu turunan koperasi itu lahirlah BMT atau setidaknya minimarket. Sederhana sekali. Modal dari mana? kita punya koin yang menjadi ujung tombak penggalangan dana, dimana sudah sangat massif tersebar di warga NU. Kita juga punya anggota maupun pengurus yang sudah kawakan  dalam mengelola usaha pribadi.

Tapi tantangannya adalah, apakah secara institusi atau kelembagaan NU punya brand bisnis?, Ketika kita ingat NU, apakah serta merta dalam brand image kita dan kesadaran terdalam kita yang pertama NU adalah sebuah lembaga yang memiliki gerakan ekonomi dan akan sukses?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa mengambil contoh sebuah brand yang melekat pada seseorang (personal branding) di kampung-kampung. Apabila menyebut nama seseorang, maka sering kali terselip tambahan. Misalnya Pak Ahmad Ayam, karena dia seorang peternak ayam yang sukses. Dan seterusnya.

Dulu ketika menyebut Wings, maka ingatan pertama kita adalah sabun, tapi sekarang ada enrichment brand atau penambahan brand. Sebuah ilustrasi, apabila berbicara wings maka ingatan yang muncul bukan hanya sabun tapi ada produk lainnya. Nah, penambahan atau pengayaan  image itu idealnya dimiliki NU. Brand yang berkembang dimasyarakat tidak harus gerakan-gerakan sosial keagamaan ansich, tapi harus ada gerakan ekonomi. Sehingga kedepannya NU secara kelembagaan diakui bertangan dingin dalam menginisiasi serta menjadi pionir dalam pengembangan ekonomi.

Uraian diatas berdasarkan kondisi riil di lapangan, refleksi, dan catatan perjalanan saya sebagai fungsionaris NU. Ada beberapa momen yang kemudian saya ambil hikmah dan pelajarannya.

Ketika kami mewakili MWCNU Pacet ke Ngasem Bojonegoro yang masyhur sebagai MWC dengan langkah ekonomi strategisnya yang masyhur se-Jawa Timur, atau bahkan se-Indonesia untuk belajar tentang manejemen BMT. Pada kesimpulannya, MWCNU Ngasem merekomendasikan koinisasi terlebih dahulu dengan baik, sangat mudah apabila koin telah terkelola dengan baik. Selebihnya terkait BMT  akan sangat mudah apabila koinisasi terkelola dengan baik. Dalam benak kami, mereka telah memberikan “warning” betapa susahnya mengurusi hal yang berkaitan dengan ke “amanahan” uang.

Begitu juga ketika kami ke Ponpes Sidogiri yang terkenal sukses dengan BMT-nya, lalu disusul usaha minimarketnya. Inti sarannya adalah pentingnya jam terbang NU secara institusi untuk melakukan usaha ekonomi. Sidogiri sebelum punya BMT besar, pondok itu punya usaha suplier sembako yang dirintis pengasuhnya dan memperoleh sambutan positif dari masyarakat.

Tidak perlu besar untuk memulai realisasi branding ini, sebagai contoh MWCNU Pacet punya gedung besar meski sederhana tapi layak sewa untuk calon penyewa yang rasional (hemat anggaran). Asal dikelola dengan baik dan profesional, ada ruang resepsi yang bersahabat, ada yang menunggu setiap hari dengan layanan ramah, harga terstandart dengan patokan yang jelas. Insya Allah akan menjadi batu loncatan yang baik bagi info yang berkembang di Masyarakat, baik dalam realitas maupun dunia maya. Nantinya netizen akan memberikan pengakuan, bahwa NU juga profesional dalam hal tata kelola lembaga usahanya. Bahasa yang disampaikan netizen sangat mungkin untuk mendapat bintang di akun googlenya Graha NU.

Langkah diatas disadari betul oleh kalangan muda NU pacet, diskusi-diskusi atau forum rebo malam yang di inisiasi LAZIZNU telah berproses sekian lama. Sehingga salah satunya adalah mengeksekusi langkah nyata, seperti rencana bangunan ruang resepsionis yang layak, kantor koin dengan kemudahan diakses baik secara online maupun ofline, dan ruang kongkow yang nyaman. Namun sayang seribu kali sayang, semua gagal di tengah jalan oleh sebuah veto. Meski semua sudah siap dan telah dimulai.

Kenyataan ini adalah sebuah potret yang benar-benar nyata. Ada banyak hal internal NU  yang harus diperbaiki, tantangannya bukan faktor eksternal. Penyadaran, kesabaran,  kerendahan hati, belajar dan istiqomah adalah keniscayaan yang harus dipunyai aktivis NU.

Semua adalah proses. Selamat kepada semua aktivis NU, selamat mengabdi dan berjuang demi kejayaan NU di masa yang akan datang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *