Tumpang sari (multiple cropping)
Agak susah kita temui di pedesaan yang masih melestarikan pertanian secara turun temurun dengan konsep variasi tanaman atau tumpang sari. Dulu dipinggir tanaman padi/ pematangnya senantiasa ada kacang-kacang-an, kenikir dan jenis sayur yang lain. Cara ini sudah mulai ditinggalkan, dengan alasan menaungi tanaman utama, menggangu kala proteksi atau merawat tanaman, bahkan karena juga tidak mau susah-susah menanam. Sistim tumpang sari inilah sebenarnya punya posisi strategis, disamping untuk mengacaukan serangga pengganggu, karena sudah galib-nya kedatangan serangga di suatu tanaman karena faktor atau rangsangan bau-bau-an dari tanaman sasaran. Adanya tanaman lain di sekitaran tanaman utama bisa membuat serangga tidak fokus untuk mendatangi dan menyerang tanaman utama, disamping manfaat ekonomis yang petani mandiri, karena produktifitas lahan bisa lebih cepat dan variatif karena perbedaan vegetasi. Sebagai contoh kacang panjang akan berproduksi lebih cepat dari tanaman utama padi atau pun bawang merah Lahan sudah produktif sejak dini, serangga tertentu tidak mudah datang karena kacang dan padi punya perbedaan yang jauh, juga meminimalkan gagal panen total.
Bertani selaras Musim
Setiap tanaman di sawah punya ke selarasan dengan alam. Petani dulu, bisa menghitung dengan tanda-tanda alam. Munculnya uir-uir atau tonggeret yang berbunyi dikala jelang malam, bisa jadi jelang musim hujan, sebaliknya muncul sejenis tonggeret yang berbunyi keras di waktu pagi menandakan berakhirnya musim hujan. Sayangnya hewan-hewan itu saat ini sudah jarang di temui, akibat pestisida yang serampangan dan polusi yang tak terelakkan. Hampir-hampir setiap petani dulu, selalu menjaga selarasnya tanaman dengan musim, disamping karena manajemen kebutuhan air, namun juga sangat mungkin berkenaan dengan siklus kehidupan hewan-hewan di alam. Musim hujan banyak serangga namun juga di barengi dengan siklus menetasnya burung-burung pemangsanya. Sayangnya burung-burung mengalami degenerasi akibat penangkapan maupun perusakan habitat nya, sehingga ketidak seimbangan yang terjadi, konsumen 1, serangga booming akibat konsumen 2 atau predator 1 (burung dan sejenisnya) jumlahnya berkurang drastis.
Bersahabat dengan Rajakaya
Hampir setiap petani era dulu, punya peliharaan rojokoyo atau rajakaya, kambing, sapi dan ayam. Hewan-hewan peliharaan itu disamping sebagai tabungan, tapi petani akan punya kemandirian untuk menjaga kesuburan tanah, pupuk. Tapi saat ini kemandirian itu hampir tidak ada, semua anorganic fertilizer oriented, berorientasi pada pupuk buatan, yang petani tidak mampu produksi, dan terimbas budaya instan. Disini petani sudah tidak mandiri lagi, karena semua harus beli dan ketergantungan pada industri.
Varitas lokal
Semenjak ada program Revolusi hijau di era 70-an, dengan alasan swasembada pangan yang terkenal dengan konsep panca usaha taninya, pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama dan penyakit tanaman, dan pengairan yang baik. Hasilnya instan mungkin, baik padi lokal yg panen dengan usia tanam yang panjang, akhirnya-nya diganti dengan pada varita baru yang kala itu dianjurkankan.
Namun bisa jadi kebiasaan orde baru, dipaksakan petani untuk mengganti dengan varitas padi dengan umur pendek, biasanya namanya ada 2 huruf IR, atau PB. Menggeser posisi lokal semacam Mendok, Sri, Nandi dan sejenisnya. Padi-padi lokal ini umur relatif panjang, tapi tidak tergantung pupuk buatan, tahan penyakit dan tikus susah mengkonsumsi karena tinggi. Beda dengan tanaman New comer, yang disebut benih unggul itu, peka terhadap Hama dan penyakit karena pendek fenotip atau penampakannya, responsif terhadap pupuk buatan, sehingga butuh alokasi dana besar dan sangat membutuhkan pengairan yang optimal. Mulai saat itulah petani kehilangan kebebasan untuk tidak tergantung pada pihak lain, para produsen benih, pestisida, pabrik pupuk anorganik, petani juga harus membayar mahal akan kebutuhan sarana produksi pertanian. Lebih sial lagi produsen-produsen itu lebih banyak berasal dari luar negeri. Serangga sahabat petani yang menjaga keseimbangan ekosistem sawah, populasinya menurun, air dan tanah tercemar pestisida, tercemar pupuk. Akibat pupuk buatan, daya dukung tanah terhadap tanaman menjadi menurun. Semua harus ditambah dengan pupuk buatan yang tidak ekonomis.
Hal-hal yang baru dalam pertanian memang baik, namun alangkah baiknya bila diterapkan secara hati-hati dan penuh perhitungan. Karena tanah ini jati dirinya bukan milik kita, tapi milik generasi setelah kita. Bisa jadi masih banyak lalu petani dahulu dalam mengelola lahannya, dengan melihat kebelakang tadi, semua masih layak untuk kita terapkan, kita harmonikan dengan sistem baru, cara baru yang mugkin dianggap lebih baik, tidak diterapkan serampangan tanpa berfikir resiko didepan. “Al muhafadhatu ‘ala qadimis shalih wal ahdu bil jadil aslah”, mengambil hal baru yang kita anggap lebih baik, tanpa melupakan tradisi baik masa lalu.
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Al Baqarah ayat 29).