
Plang jalan itu telah usang, berkarat, namun hurufnya masih terbaca jelas; Jl. Kenari Gg 5B. Jalan masuk ke gang itu terbilang sempit. Lebarnya pun sekitar 1,5 M, hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dan beberapa pejalan kaki. Gang itu terletak di pinggiran kota besar, sebuah ibukota provinsi di Republik Indonesia.
Terhitung lima belas depa dari mulut gang, terdapat rumah kecil yang tampak reyot. Itulah rumah Azis, panggilan akrab Abdul Azis Muhidin, sosok yang dikenal paling taat di sepanjang Jl. Kenari Gg. 5B. Azis bukan tokoh masyarakat. Bukan pula seorang guru, bukan siapa-siapa, selain hanya kepala keluarga dari lima anak yang masih kecil-kecil dengan jarak usia rata-rata hanya satu setengah tahun. Luas rumahnya hanya dua petak, dengan atap seng karatan yang acapkali bocor jika musim hujan tiba.
Sebagai seorang muslim yang taat, Azis percaya satu hal, bahwa memperbanyak keturunan adalah bagian dari amal shaleh, menegakkan sunnah. Katanya, kelak Nabi akan bangga melihat umatnya yang banyak di hari kiamat. Ia acapkali menyitir hadits itu demi memperkuat argumen―meski seingatku, Azis tak pernah menelaah kitab-kitab agama secara utuh. Yang ia tahu, penggalan-penggalan teks dari khotbah Jum’at yang ia dengar setengah sadar, kadang sambil mengantuk atau memikirkan utangnya yang menumpuk.
Azis bukanlah tipikal orang jahat. Ia hanya keliru. Dan parahnya, terlalu keras kepala untuk mendengar nasihat siapapun―termasuk istrinya sendiri, Fitrianah.
Fitrianah, perempuan tabah yang dinikahi Azis sembilan tahun yang lalu, sangat paham bahwa esensi hidup bukan soal banyaknya anak. Namun, ia terlalu lelah untuk berdebat yang ujung-ujungnya berakhir dengan pertengkaran. Tubuhnya terlalu kurus untuk ukuran rata-rata wanita, meski pesona kecantikan masih tersisa di guratan wajahnya. Kebugaran tubuh Fitrianah perlahan menyusut seiring banyaknya pekerjaan rumah yang menggunung, mulai memasak, menyusui, mencuci, memandikan, menenangkan kelima anaknya yang acapkali bertengkar satu sama lain. Ia hanya memiliki dua tangan. Sementara setiap hari, seakan ada sepuluh pekerjaan menanti sejak subuh hingga larut malam.
“Bang, belikan aku sabun bayi,” ucapnya suatu malam, lirih, takut suaranya terdengar anak-anaknya yang baru saja tertidur.
Azis mengangguk pelan. Ia tahu, uang mereka hanya cukup untuk membeli beras esok hari. Sabun bayi pun tak pernah masuk dalam daftar beli.
Pasca pandemi Covid-19, kondisi ekonomi mereka terjun bebas. Azis dahulu merupakan seorang mandor di sebuah developer. Kini, proyek sepi. Kalaupun ada, hanya pekerjaan serabutan dengan upah minim, sering telat pula. Tak jarang ia pulang hanya membawa semangkuk mie instan dingin sisa-sisa dari warung temannya. Bahkan pernah pula ia pulang dengan tangan kosong.
Tapi yang lebih menyakitkan bukan soal uang. Tapi masalah sikap. Azis merasa dirinya sedang menjalankan “tugas suci”. Bahwa memperbanyak keturunan merupakan bentuk kesalehan. Ia acapkali menasihati sahabat-sahabatnya agar tidak menunda punya anak. “Banyak anak, banyak rezeki,” katanya dengan wajah serius. Padahal faktanya? Yang banyak justru keluh kesah. Banyaknya beban. Rezeki? Kalau bukan karena belas kasihan tetangga, mungkin keluarga Azis telah dilanda kelaparan yang mencengkram.
-0-
Suatu sore, wajah langit tampak kehitam-hitaman. Mendung menggantung di permukaan awan. Sejurus kemudian hujanpun turun tanpa rasa iba. Deru angin menyeruak, menampar-nampar wajah. Azis duduk di emperan masjid yang tak jauh dari rumahnya. Akhir-akhir ini ia lebih sering berada disana sekarang. Bukan saja untuk shalat, tapi menghindar dari rengekan anak-anaknya yang kerap minta es krim, atau dari kenyataan bahwa hidupnya tak semulia yang ia bayangkan.
“Mau kopi, Nak?” seorang bapak tua bertanya kepada Azis.
Azis terkejut. Ditengah lamunannya, ia tak sadar ada orang lain di Masjid selain dirinya. Azis mengangguk kecil karena kaget.
Yang menawari kopi tersebut bernama Mbah Kiran. Orang-orang disekitar masjid mengenalnya sebagai marbot. Ia acapkali membersihkan masjid, mengumandangkan adzan, atau sesekali tidur di pojokan dekat rak Al-Qur’an.
Dari termos kecil, Mbah Kiran menuangkan kopi. Hangat, pahit, tanpa gula. Mereka duduk bersebelahan sambil memandangi rintik-rintik hujan.
“Rupanya kau ada masalah Nak?” lagi-lagi Mbah Kiran bertanya, seakan mengetahui apa yang ada didalam benak Azis.
“Iya, Mbah.”
Kepada Mbah Kiran, perlahan Azis menceritakan semua masalahnya, berikut nilai-nilai hidup yang dipegangnya.
“Rezeki-rezeki…” gumam Mbah Kiran, sambil menatap wajah Azis. Sorot matanya tajam, namun penuh rasa welas-asih. “Tapi, Nak, pernahkah kau berfikir… kalau banyaknya anak itu bukan sekadar angka, tapi juga Amanah?”
Azis terdiam.
“Mbah, bukankah Nabi bersabda, bahwa beliau bangga dengan jumlah umatnya? Karena itu menyuruh kita memperbanyak keturunan?”
Mbah Kiran tersenyum. Ia membetulkan posisi duduknya. “Betul, tapi bukan sekadar banyak. Nabi menginginkan umat yang bertaqwa, penuh kasih, berdedikasi tinggi, dan berakhlaq mulia. Bukan umat yang menyusahkan sesama, meningalkan tanggung jawab, dan hidup diangan-angan mulia tanpa perilaku yang mulia.”
Kata-kata Mbah Kiran menghunjam di sanubari Azis. Kata-kata itu layaknya air yang telah mengguyur api keangkuhannya. Ia tak membantah. Diam. Ada sesuatu yang tiba-tiba datang dan memaksa masuk kedalam hatinya. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia izinkan datang; kesadaran.
“Berarti selama ini saya salah Mbah?”
“Bukan hanya salah, tapi juga mengabaikan kenyataan. Lihat anak-anakmu. Kau terlalu percaya bahwa jumlah nominal adalah segalanya. Padahal, Tuhan tak sebatas menilai dari jumlahnya, tapi dari cinta, dari kasih sayang, dari tanggung jawab”
-0-
Hujan telah reda. Azis pulang dengan langkah nan berat, langkah penuh penyesalan. Di rumah, lampu temaram. Anak-anaknya telah tertidur semua, meski ada satu-dua yang terbatuk. Di dapur, dilihatnya Fitrianah duduk dengan mata yang terlihat sayu sambil sesekali memeluk kedua lututnya.
Azis menghampiri, duduk disebelahnya.
“Fit,” bisiknya “Maafkan aku. Aku salah dengan pemahamanku yang dangkal. Aku terlalu banyak menyusahkanmu”
Fitrianah hanya diam. Dari kelopak matanya, jatuh butir-butir air, mengenai bajunya yang telah kusam. Bagi Azis, hal itu lebih menyakitkan daripada semua makian yang pernah ia terima.
Malam itu adalah fase baru bagi Azis. Ada tonggak perubahan yang signifikan dalam hidupnya. Azis telah bertransformasi menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Ia mulai berkenan mencuci piring. Membantu istrinya memasak. Menyuapi anak-anak. Bahkan rela tidak tidur demi menjaga anaknya yang sakit.
Dari keras kepala, perlahan Azis menjadi lelaki yang rendah hati. Ia mulai mengerti, menjadi pemimpin keluarga bukan soal banyaknya anak, tetapi tentang kehadiran seorang ayah. Memberi cinta, kasih sayang, menjadi tempat berteduh.
-0-
Beberapa bulan kemudian terdengar kabar duka, Mbah Kiran wafat. Pria tua itu tidak bangun dari sujud terakhirnya saat shalat subuh. Seluruh jamaah masjid bergemuruh memekakan derap-derap tasbih karena rasa takjub.
Bersama istri dan kelima anaknya, Azis hadir dan mengantarkan jenazah Mbah Kiran hingga ke pemakaman. Di tepi makam Mbah Kiran, Azis hanya menunduk, berdoa, lantas ia berkata dalam hati;
“Mbah, aku bukanlah lelaki baik. tetapi sedang berproses menjadi baik”