Kepada Ibu.
Seperti deru angin di kesunyian malam, di bawah pohon cemara yang retak
gelembung rindu hadir tanpa disertai aba-aba.
Ia menyergapku, melampaui batas-batas kesadaran.
Tidak ada pembukaan megah, hanya sepi yang menembus kedalaman dada.
Kutulis surat ini disertai gelapnya malam, tetesan air mata rindu, sembari mencoba bicara denganmu yang kini menjadi semesta cinta.
Inilah rinduku padamu.
Rindu adalah rindu.
Tentang entitas.
Sepandai apapun dijelaskan, selalu bermetamorfosis menjadi kata-kata yang absurd.
Rindu melampaui kata-kata. Tak berbentuk, namun ada.
Sunyi.
Bergema dalam hati.
Dari rindu, ada luka kecil yang menganga.
Tentang penyesalan.
Untuk menjadi anak yang baik.
Ibu.
Sempat terfikir bahwa detik-detik waktu begitu panjang.
Dalam hati berbisik,
Nanti, kubalas jasamu.
Nanti, kusisihkan waktu duduk bersamamu.
Nanti dan sejuta nanti.
Namun, kata “nanti” membeku menjadi fatamorgana yang tak berbentuk.
Hilang. Tersapu angin yang berhembus dari timur.
Maafkan Ibu.
Tak terlupa tangan kasarmu.
Kasih sayangmu yang tak terbayar.
Bahasamu adalah diam.
Dalam diam, ada sejumput keinginan yang tak bergema.
Berharap masuk kedalam kesadaranku bahwa membantumu bukan sekadar kewajiban seorang anak, tapi tentang arti cinta.
Maafkan aku Bu.
Aku sadar, hidup bukan seperti berpindah dari gerbong kereta ke gerbong lain.
Tidak.
Sangat kompleks.
Kehilanganmu bagian dari kompleksitas itu.
Seperti cermin yang memaksaku melihat diri sendiri
melihat kerdilnya diriku dibandingkan pengorbananmu.
Pada akhirnya, aku hanya ingin berterimakasih padamu.
Dengan bahasa sederhana.
yang terucap dari lisan anak manusia.
Seluas permukaan bumi.
Selebar kolong langit.
Ibu, surat ini adalah obat dehidrasi rinduku padamu.
Puisi ini pernah di muat dalam buku Antologi; Ayah adalah Ibu, Ibu adalah Ayah bersama Maman Suherman dan 49 penulis gnfi
bh9qm2