Dialog Bagong dan Petruk yang Kritis dan Reflektif tentang Ormas dan Premanisme

Di sebuah warung kopi di pinggir jalan. Pada sore hari, Bagong duduk sambil menyeruput kopi hitam. Ia sedang berbincang serius dengan temannya, Cak Petruk, tentang pemberitaan yang ramai akhir-akhir ini mengenai ormas yang meminta jatah THR dan melakukan pemalakan.
Petruk: Bagong, kamu baca berita hari ini? Di mana-mana ormas minta THR, bahkan ada yang maksa sampai ngancam pengusaha. Malah ada yang ngaku-ngaku “pengaman wilayah”. Preman itu mah!
Bagong: Aku baca, Truk. Tapi jangan buru-buru simpulin semua ormas kayak begitu. Jangan mentang mentang satu-dua kelompok berulah, langsung generalisasi semua ormas itu preman.
Petruk : Lha terus, kalau ormas berkedok seragam tapi kerjanya maksa-maksa uang, bukannya itu bahaya, Gong? Mending bubarkan aja sekalian semua ormas, biar gak ada celah buat premanisme berjubah organisasi.
Bagong: Nah, ini yang perlu kita pikirin secara jernih, Truk. Masalah premanisme itu memang serius. Tapi pembubaran semua ormas? Itu reaksi yang berlebihan. Logikanya begini: kalau ada oknum polisi nyogok atau melanggar hukum, apakah semua institusi kepolisian harus dibubarkan?
Petruk: Ya nggak gitu juga…
Bagong: Nah, sama halnya dengan ormas. Organisasi masyarakat itu bagian dari demokrasi. Mereka punya fungsi sosial, budaya, bahkan kadang ekonomi. Di banyak daerah, ormas bantu saat bencana, jadi mediator konflik, dan jadi ruang ekspresi warga sipil.
Petruk: Tapi kenyataannya di lapangan beda, Gong. Banyak yang dijadikan tameng buat ngeras uang. Gak sedikit pengusaha yang terpaksa ngasih THR bukan karena keikhlasan, tapi karena takut.
Bagong: Setuju. Tapi itu ulah oknum. Dan kita harus bisa bedain antara sistem dan pelakunya. Yang perlu ditegakkan itu penegakan hukum, bukan justru memberangus seluruh ruang partisipasi warga. Yang harus dibereskan adalah aparat yang tidak tegas, bukan hak warga untuk berkumpul dan berserikat serta mengeluarkan pendapat. Iya To…?
Petruk: Tapi faktanya, banyak ormas sekarang malah jadi alat kekuasaan atau alat intimidasi. Kalau nggak mendukung pihak tertentu, bisa-bisa dipojokkan. Bukankah lebih aman kalau dibubarkan saja daripada dijadikan alat kekuatan sipil yang justru menekan rakyat?
Bagong: Justru karena itu kita perlu atur, bukan bubarkan. Regulasi yang jelas, transparan, dan pengawasan ketat dari negara. Seharusnya ada verifikasi dan evaluasi periodik terhadap ormas—dilihat programnya, kontribusinya, dan akuntabilitas keuangannya. Pokoknya perlu ada aturan lebih lanjut lah…
Petruk: Tapi kalau terus-terusan dikasih ruang, ormas bisa jadi liar dan semena-mena. Ini fakta Gong!
Bagong: Sekali lagi, itu tugas negara untuk mengontrol. Jangan sampai negara ini menyerah dengan alasan “takut ormas liar”, lalu mengambil solusi instan: membubarkan semuanya. Itu pendekatan represif, bukan solutif. Padahal banyak ormas punya sejarah panjang perjuangan, pendidikan masyarakat, sampai advokasi hak-hak warga kecil. Apa kita mau hapus begitu saja?
Petruk: Tapi bisa nggak sih kita pisahin yang benar-benar ormas dari yang preman? Kadang-kadang wajahnya sama, atributnya mirip.
Bagong: Bisa. Kalau negara niat. Kalau aparat bekerja dengan independen, tanpa takut tekanan politik atau tekanan massa. Tapi kalau hukum mandul, ormas yang baik pun bisa tertekan karena stigma. Padahal di banyak desa, ormas membantu warga urus administrasi, gotong royong, bahkan pelatihan keterampilan. Itu tidak diberitakan.
Petruk: Tapi publik sudah jenuh, Gong. Sekali ada kejadian ormas minta-minta, langsung meledak emosi rakyat.
Bagong: Itu karena media kadang hanya sorot sisi gelapnya. Padahal kerja-kerja sunyi ormas tak pernah diliput. Masalah kita bukan pada ormas, tapi pada lemahnya penegakan hukum. Kalau negara hadir dan berani menindak oknum, citra ormas bisa pulih. Jangan sampai kita korbankan semua karena ulah segelintir.
Petruk: Gong, aku ngerti maksudmu. Tapi tetap aja, aku gak setuju. Logikamu bagus, tapi kenyataannya rumit. Kita hidup di negara di mana aturan sering diabaikan, hukum bisa dibeli. Maka satu-satunya cara efektif ya dengan pembubaran total. Baru nanti kita bangun ulang sistem keormasan yang steril dari kekerasan dan premanisme. Biar jelas. Biar bersih. Biar rakyat tenang. Biar gak ada pengusaha yang ketakutan tiap jelang lebaran. Mau nunggu negara kuat, kapan? Preman sudah lebih dulu kuat karena pakai bendera ormas. Di lapangan, gak sempat kita bedain mana oknum mana bukan. Kalau orang datang bawa bendera dan minta uang, ya itu bentuk tekanan. Kalau bukan ormas, gak mungkin bisa begitu. Jadi lebih baik hilangkan dulu semua, reset dari awal.
Bagong: Aku paham perasaanmu, Truk. Dan aku pun jengkel dengan premanisme yang berkedok. Tapi membubarkan semua ormas hanya karena satu dua kelompok menyimpang, sama saja membunuh demokrasi kita. Itu pendekatan reaktif dan emosional. Yang kita butuhkan adalah penataan, bukan pembasmian. Kita harus tegakkan keadilan tanpa membinasakan harapan. Ormas bukan musuh. Premanisme yang bersembunyi di baliknya—itulah yang harus kita hadapi bersama. Dengan hukum yang adil, media yang bijak, dan masyarakat yang cerdas, kita bisa pisahkan mana yang bekerja untuk rakyat dan mana yang menindas atas nama rakyat. Jangan biarkan segelintir preman merusak warisan sosial kita. Karena jika semua dibubarkan, siapa yang akan berdiri saat negara lengah?
Mesti ae, Mbah Jim berpendapat ngunu tentang ormas, la situ kan Kyainya P…..
Melihat postingan n interaksi kru teras yg mengalir santai meski ada masalah serius, dihadapi dg gurau, kayaknya perlu tulis buku kroyokan, “mati ketawa ala nusantara “
Timing pas, dg situasi kala mati ketawa ala rusia. Idep2 semoga buku nya menjadi pertanda kebangkitan indonesia, sekecil apapun kontribusinya. Krn yg besar juga berawal dari kecil
Ide bagus ji…….
tlefox