Teras Rasa

AL HAQQ: OSILASI, REALITAS,DAN KEBENARAN #2 What and Why?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ ۝٣٦

Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh para ilmuwan terkemuka dunia, dua raksasa pemikiran abad ke-20, Niels Bohr dan Albert Einstein, berdiri berseberangan. Tahun 1927, dalam Konferensi Solvay kelima, mereka berdebat tentang hakikat realitas dan kebenaran dalam dunia kuantum. Einstein, dengan keyakinannya pada realitas objektif dan determinisme, bersikeras bahwa “Tuhan tidak bermain dadu.” Bohr, di sisi lain, menjawab dengan tenang, “Einstein, berhenti memberitahu Tuhan apa yang harus dilakukan.”, untuk menyampaikan pesan bahwa hubungan realitas dan kebenaran bersifat probabilistik dan relative yang sangat tergantung pada pengamat. sambil menambahkan :

“Segala sesuatu yang bisa dikatakan, harus dikatakan dengan jelas, – tapi realitas itu sendiri tidak harus jelas“.

Walaupun secara berseloroh, Tuhan dan spiritualitas agama telah coba-coba kembali dilibatkan dalam ranah ilmiah science dimana sejak Copernicus, Kepler dan Galileo spiritualitas agama telah disekulerisasi oleh materialism science. Perdebatan ini bukan sekadar pertengkaran antara dua ilmuwan jenius, tetapi sebuah cermin dari dialektika ilmiah yang lebih besar: pertarungan antara dua cara memahami kebenaran dan realitas. Einstein, sang realis, percaya bahwa realitas ada independen dari pengamatan manusia. Bohr, sang instrumentalis, berargumen bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui lensa pengukuran dan interpretasi manusia. Perdebatan mereka mengungkap dualitas mendasar dalam sains dan filsafat: apakah kebenaran itu tunggal dan objektif, atau jamak dan relative intersubjective ?

“Segala sesuatu yang bisa dikatakan, harus dikatakan dengan jelas, – tapi realitas itu sendiri tidak harus jelas“.

Niels Bohr

Pernyataan ini tidak hanya mencerminkan perdebatan mendalam dalam fisika kuantum, tetapi juga memberikan lensa untuk memahami triplisitas sistem: dari sistem sederhana yang deterministik, sistem kuantum yang probabilistik, hingga sistem kompleks yang emergent, adaptif tak dapat diprediksi. Einstein yang bersikukuh atas pentingnya menjaga koherensi hubungan kausalitas (sebab-akibat) dalam sistem sederhana. Di sisi lain Bohr yang sadar atas apa yang menjadi basis argument Einstein tetapi tak bisa menolak bahwa relasi realitas dan kebenaran dalam sistem kompleks terbukti tidak sejalan dengan sistem sederhana, dan tak ada kewajiban untuk menyederhanakannya.

Percobaan “doublesplit experiment” telah menjadi peristiwa bersejarah yang membuktikan terdapat dualitas sifat cahaya : sebagai partikel dan sebagai gelombang, artinya bahwa melalui doublesplit experiment koherensi deterministic dari sifat cahaya tak dapat dipertahankan, Cahaya bersifat deterministic sekaligus probabilistic, dia adalah entitas yang dapat dikuantifikasi seperti partikel pada posisi tertentu, tetapi posisi partikel yang hendak dikuantifikasi ini memiliki probabilitas berbanding terbalik dengan kecepatannya. Semakin presisi posisi partikel cahaya di tetapkan semakin tidak presisi momentum partikel di titik itu, menciptakan ketidakpastian, yang dikenal dengan Ketidakpastian Heisenberg yang juga menjadi dasar fundamental teori kuantum.

Prinsip Ketidakpastian dalam teori kuantum memunculkan kondisi superposisi. Superposisi adalah prinsip dasar dalam mekanika kuantum yang menyatakan bahwa sebuah sistem kuantum dapat berada dalam beberapa keadaan secara bersamaan hingga kuantifikasi dilakukan. Prinsip ketidakpastian dan superposisi inilah yang memungkinkan perbedaan cara pandang antara satu ilmuwan dan ilmuwan lain dapat diletakkan dalam kerangka berpikir sistem kuantum. Sistem yang menjadikan kebenaran dan realitas pada hubungan relative, serba mungkin, tak lagi semata deterministic tetapi juga probabilistic. Superposisi ini yang tidak memungkinkan untuk menafikan satu kubu demi kubu lainnya, melainkan justru mengikat keduanya dalam kerangka kolaboratif yang saling memperkuat—tidak hanya dalam sains, tetapi juga dalam filsafat dan metafisika.

Peran David Bohm, John Bell, dan Alain Aspect dalam Memperkuat Superposisi Pendekatan Einstein dan Bohr

Perdebatan antara Einstein dan Bohr tidak berakhir di Konferensi Solvay. Pada pertengahan abad ke-20, fisikawan David Bohm mengusulkan interpretasi baru terhadap mekanika kuantum yang mencoba menjembatani pendekatan Einstein dan Bohr. Bohm mengembangkan teori “hidden variables” (variabel tersembunyi), yang menyatakan bahwa partikel kuantum memiliki properti tertentu yang belum terungkap, yang dapat menjelaskan perilaku probabilistik mereka tanpa mengabaikan realitas objektif. Meskipun teorinya tidak sepenuhnya diterima oleh komunitas ilmiah, Bohm berhasil membuka jalan bagi pemikiran baru tentang bagaimana realitas kuantum dapat dipahami.

Pada tahun 1964, fisikawan John Bell mengajukan teorema yang dikenal sebagai Teorema Bell. Teorema ini menyediakan kerangka matematis untuk menguji apakah teori variabel tersembunyi seperti yang diusulkan Bohm dapat menjelaskan fenomena kuantum. Bell menunjukkan bahwa jika variabel tersembunyi memang ada, maka hasil pengukuran partikel yang terjerat (entangled) harus memenuhi ketidaksetaraan tertentu. Namun, jika ketidaksetaraan ini dilanggar, maka teori variabel tersembunyi tidak dapat menjelaskan fenomena kuantum secara lengkap.

Pada tahun 1980-an, fisikawan Alain Aspect dan timnya melakukan serangkaian eksperimen canggih untuk menguji Teorema Bell. Hasil eksperimen Aspect secara meyakinkan menunjukkan bahwa ketidaksetaraan Bell dilanggar, membuktikan bahwa teori variabel tersembunyi tidak dapat menjelaskan sepenuhnya fenomena kuantum. Eksperimen ini memperkuat interpretasi Bohr bahwa realitas kuantum bersifat probabilistik dan bahwa partikel yang terjerat (entangled) menunjukkan korelasi yang tidak dapat dijelaskan oleh teori lokal (seperti yang diusulkan Einstein).

Keterikatan kuantum (quantum entanglement) adalah fenomena sekelompok partikel yang dihasilkan, berinteraksi, atau berbagi kedekatan spasial sedemikian rupa sehingga keadaan kuantum setiap partikel dalam kelompok tersebut tidak dapat dijelaskan secara independen dari keadaan partikel lainnya. Temuan Bohm, Bell, dan Aspect tidak hanya memperkuat superposisi antara pendekatan Einstein dan Bohr, tetapi juga menunjukkan bahwa realitas kuantum mungkin lebih kompleks daripada yang dapat dijelaskan oleh salah satu pendekatan (misal : hanya melalui variable tersembunyi) secara terpisah. Mereka membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang dualitas dan keterjeratan (entanglement) dalam fisika kuantum, yang pada gilirannya memengaruhi pemikiran filosofis tentang hakikat realitas dan kebenaran.

Dengan demikian, perdebatan antara Einstein dan Bohr, yang diperkaya oleh kontribusi Bohm, Bell, dan Aspect, bukan sekadar pertarungan ide, melainkan fondasi bagi pemahaman yang lebih holistik tentang realitas, kebenaran, dan hubungan antara sains dengan dimensi- dimensi lain seperti filsafat dan spiritualitas.

Sistem Kuantum Sebagai Model Ideal

Sistem kuantum sejauh ini dapat dianggap sebagai representasi paling ideal yang mampu menjembatani kesenjangan interpretasi antara sistem sederhana (yang deterministik dan terprediksi) dan sistem kompleks (yang emergent, adaptif, dan sulit diprediksi). Sistem kuantum  menghubungkan  kedua  dunia  ini  melalui  sifat-sifat  uniknya, seperti superposisi, entanglement, probabilistik, dan non-lokalitas.

Sistem kuantum tidak hanya menjembatani kesenjangan antara sistem sederhana dan sistem kompleks, tetapi juga mengajarkan kita untuk:

  • Memahami Realitas adalah kesatuan yang dinamis: Kesederhanaan dan kompleksitas bukanlah dua hal yang terpisah, tetapi dua sisi dari koin yang sama.
  • Menerima Ketidakpastian: Bahwa realitas tidak selalu dapat diprediksi atau dipahami secara mutlak.
  • Menghargai Keragaman: Bahwa ada banyak cara untuk memahami dan menjelaskan fenomena, tergantung pada konteks dan perspektif.
  • Pemahaman holistik diperlukan: Untuk memahami realitas secara utuh, kita perlu mempertimbangkan baik elemen sederhana maupun kompleks, serta interaksi di antara keduanya.
  • Mendorong Eksplorasi: Bahwa selalu ada ruang untuk penemuan dan inovasi baru, baik dalam sains, teknologi, maupun filsafat.
  • Keterbukaan terhadap kemungkinan baru: Sistem kuantum mengajarkan kita untuk selalu terbuka terhadap kemungkinan baru, baik dalam sains, filsafat, maupun kehidupan sehari-hari.
Sistem kuantum tidak hanya merevolusi sains dan teknologi, tetapi juga mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan cara yang lebih fleksibel, inklusif, dan penuh kemungkinan. Ini adalah undangan untuk terus menjelajahi, mencipta, dan menemukan makna baru dalam keberagaman realitas yang tak terbatas.

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ ۝٥٣

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS Fushilat: 53)

5 komentar untuk “AL HAQQ: OSILASI, REALITAS,DAN KEBENARAN #2 What and Why?”

  1. Aku berharap bahwa artikel awal ini, dan insya’Allah artikel berikutnya dapat menjadi sekumpulan premis-premis sederhana tetapi mendasar dan fundamental yang tak hanya menjadi lensa yang mengintegrasikan tetapi sekaligus prisma yang mendeferensiasikan. Tidak hanya memungkinkan kita dengan rendah hati melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tetapi juga mengajak kita untuk berdialog, berinteraksi, menari, tumbuh, dan berevolusi bersamanya, dengan jujur mengakui bahwa kita bodoh dan lemah tetapi sedang diberi amanat untuk menemukan lapisan-lapisan hakikat kesempurnaan penciptaan kita melalui ketersingkapan hakikat, penciptaan, dan evolusi semesta di setiap tahapannya. Tujuannya adalah melalui perkenalan dengan alam semesta, kita mengenal diri kita; bersujud, bersyukur menyanjung dan memuji sebagai hamba atas anugerah terbesar bila kita diperkenalkan dengan Pencipta keduanya.

  2. Akhirnya lumayan kenyang juga.. setelah membaca ini..🤭
    bacaan yang kayak gini nihh yang bisa mengenyangkan..
    Best banget pokoknya 👍👍👍
    Lanjut..

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *